LOGIKA MARX III
Bahan III: Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari kedua bahan pertama yang kita pelajari, kita mendapat hukum-hukum
dasar logika formal; bagaimana dan mengapa mereka hadir; hubungan apa yang
dimiliki dialektika terhadapnya; dan batas-batas apa yang kemudian menjadikan
logika formal tak berguna lagi.
Kita akan melihat 5 kesalahan mendasar dalam elemen-elemen hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal:
Semesta Tidak Berubah
Pertama sekali, logika formal menolak suatu gerak, perubahan dan
perkembangan dalam realitas. Penolakan tersebut tidak secara eksplisit
ditujukan pada keberadaan realitas. Tapi, secara tak langsung, yakni,
hukum-hukumnya menolak implikasi penting logika internalnya.
Seperti yang dikemukan oleh hukum identitas, jika setiap hal sama dengan
dirinya maka, seperi yang ditunjukkan oleh hukum kontradiksi, tak ada yang
tidak sama dengan dirinya, semuanya sama. Tapi ketidaksamaannya merupakan
manifestasi dari perbedaan—dan, sebenarnya, perbedaan mengindikasikan operasional
perubahan. Jika semua perbedaan ditolak maka tidak akan ada gerak dan perubahan
itu sendiri, oleh karenanya tidak ada alasan menjadi berbeda.
Jika logika formal ingin mendapatkan sisa kebenaran dirinya, bukan lah
dengan menolak keberadaan nyata dan rasionalitas gerak. Tak ada tempat bagi
perubahan di dunia ini yang bisa diterima oleh atau digambarkan oleh logika
formal. Tak ada gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan logis dalam hukum-hukumnya
yang dapat melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak ada dinamika dari dunia luar
yang mendorong segala hal keluar dari kondisinya yang sekarang guna
menghasilkan formasi baru. Gerak digambarkan atau ditunjukkan sebagai realisme
statistik, yang segalanya membeku di tempatnya masing-masing.
Mengapa formalisme tersebut memunggungi realitas? Karena gerak memiliki
karakter kontradiksinya sendiri. Seperti kata Engels: ”…bahkan perubahan
mekanis sederhana suatu tempat bisa berlangsung dalam sebuah tubuh dan, pada
saat yang bersamaan, keduanya bisa berada di sebuah tempat lainnya, berada di
suatu tempat atau tidak berada di suatu tempat lainnya pada saat yang
bersaman.”[5] Segala yang bergerak memiliki kontradiksi
dalam keberadaanya, di suatu tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan, dan
bisa menundukkan atau keluar dari kontradiksi tersebut dengan menerjang satu
tempat guna menuju ke tempat lainnya.
Perkembangan dan bentuk kompleks gerak, seperti perkembangan pohon dan
tumbuhan, perkembangan spesies, perkembangan masyarakat dalam sejarah dan
perkembangan sejarah filsafat, hadir bahkan lebih sulit bagi logika formal.
Tahap sekarang, yang menggantikan setiap proses adalah serial kontradiksi. Pada
pertumbuhan tanaman, contohnya, tunas keberadaannya diganti oleh bunga dan
kemudian oleh buah.
Dimana pun mereka dikonfrontasikan dengan kontradiksi nyata, penganut
logika formal selalu akan gagal. Apa yang akan mereka lakukan? Anak kecil
sewaktu berhadapan dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang menakutkan mereka,
yang mereka tak mengerti dan tak dapat mereka kuasai, akan menutup mata mereka
dan menutup mukanya dengan kedua tangannya, serta akhirnya melarikan diri dari
ketakutan tersebut. Penganut formalis bereaksi dan terus bereaksi, sama seperti
anak-anak berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka tidak bisa secara
komprehensif melihat kenyataan alamiahnya dan tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan dengan semua hal yang mengerikan—itu lah yang menyedihkan dari dunia
logika formal—maka, dengan ledakan kontradiksi, segera mereka akan
menghancurkan logika formal mereka.
Dimana pun, saat otoritas reaksioner diancam oleh kekuatan subversif,
mereka akan menekan, memenjara dan membuang kekuatan subversif tersebut.
Penganut logika formal menjawab kontradiksi dengan cara yang demikian. Seperti
yang dilakukan oleh Sir Anthony Absolute terhadap anaknya dalam lakon komedi
Sheridan: “…Jangan masuk dalam ruanganku, jangan berani menghirup udara dan
menggunakan lampu bersamaku, tapi carilah atmosfir dan matahari lain untuk
dirimu! ...”
Hukum tersebut menunjukkan bahwa A tidak pernah menjadi Non-A. Itu bukan
sebuah ekspresi nyata dari kontradiksi yang nyata, atau, terbaca: A bukan Minus
A atau bukan Non-A.
Logika formal tidak dapat mentoleransi kontradiksi aktual dalam sistimnya
sendiri. Logika formal akan menekan dan menghancurkan kontradiksi tersebut.
Dalam usahanya untuk membebaskan dirinya dari kontradiksi, penganut logika
formal memperketat kontradiksi absolut di atas kenyataan objektif. Dalam dunia
yang direpresentasikan oleh logika formal, segala sesuatu berdiri dalam oposisi
absolut terhadap yang lainnya. A adalah A; B adalah B; C adalah C, namun,
sebenarnya, secara logis, mereka tidak ada yang sama
Kontradiksi dieliminasi dari sistim logika formal, kemudian bergerak naik
menghindari semua kenyataan. Penganut logika formal menolak kontradiksi dalam
sistimnya sendiri hanya demi merestorasinya, mengambil kekuasaan dari luar
sistim mereka.
Kontradiksi nyata harus memasukkan kedua hal: kesamaan dan perbedaan di
dalam dirinya. Penganut logika formal tak bisa melakukannya. Semua hukum logika
formal sebenarnya tidak lain merupakan kesamaan-kesamaan dalam berbagai versi.
Merka tak mengenal apa perbedaan-perbedaan.
Itu lah sebabnya hukum kategori yang pas bagi logika formal tidak dapat
menjelaskan esensi gerak. Gerak adalah sangat lengkap, terang-terangan, bahkan
kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia memiliki dua sisi perbedaan waktu,
unsur, fase dan lain sebagainya secara diametris. Pada saat yang bersamaan,
benda yang bergerak adalah keduanya, disini dan disana, secara terus menerus.
Jika tidak, dia tidak bergerak tapi diam. A tidak semata-mata Non-A. Diam
adalah gerak yang berhenti; gerak adalah perhentian yang berurutan.
Logika formal tidak bisa mengetahui atau menganalisa kontradiksi alam
nyata—yang di dalamnya terdapat gerak—tanpa melanggar dirinya sendiri, tanpa
menjatuhkan hukum-hukumnya sendiri, tanpa menerjang dan masuk ke alam yang
lain. Adalah mimpi mengharapakan logika formal menjadi dialektik. Itu tepatnya
dengan apa yang terjadi pada logika dalam evolusi. Tapi, logika formal, dalam
dirinya dan oleh dirinya, tidak dapat mengambil lompatan revolusioner, tidak
bisa keluar dari kulitnya. Semua pemikir formal yang konsisten tetap bertahan
pada azas jeneralitas identitas dan terus menolak—cukup logis menurut logika
mereka, tapi tak logis menurut kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni
kenyataan perbedaan diri atau kontradiksi.
Kategori identitas itu abstrak: hukum logika formal merupakan ekspresi
langsung dari konsepsi dan persamaan logika ke-diam-an keberadaan objek. Oleh
sebab itu, logika formal, secara esensial, merupakan logika kematian, hubungan
yang dingin, sesuatu yang diam, pengulangan abadi dan kemandegan. Sejauh kita mengganggap bahwa sesuatu itu statis dan mandeg, maka adalah benar bahwa kita tidak
bertentangan dengan kontradiksi. Kita mendapatkan kwalitas tertentu yang
sebagian merupakan hal yang bias, terpisah, bahkan saling kontradiktif, tapi,
dalam kasus ini (dalam sistim logika formal), kwalitas tersebar di antara objek
yang berbeda dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila melihat apa yang terjadi pada kasus lain, yang bergerak, ternyata
tidak saja saling berhubungan, dan tidak saja secara eksternal tapi juga secara
internal, sesuatu akan kehilangan identitas dan bergerak menuju sesuatu yang
lain. Sungai Hudson mengalir dan bergabung dengan samudra Atlantik; Mark jerman
merosot menjadi secarik kertas cetakan dan lainnya. Apa yang bisa dilakukan
oleh sesuatu hal dapat dilihat saat ia kehilangan identitas. Hasil internal dan
eksternal gerak benda-benda nyata terwujud secara kontradiktif. Tapi tetap ada
benarnya juga bahwa: mereka berhubungan dengan realitas.
Tidak ada yang permanen. Kenyataan tidak pernah berhenti, selalu berubah,
selalu fluktuatif (tidak stabil/naik turun). Proses universal, yang tak
terbantahkan, membentuk landasan material bagi teori yang di ajarkan Engels
”…seluruh alam, dari unsur yang paling kecil sampai yang paling besar, dari
debu hingga matahari, keberadaannya ada dalam keabadian, yakni menjadi dan melenyap,
menghilang, kemudian bergolak dalam gerak yang tak berhenti…”[7]
Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang lebih aman selain berbasiskan pada
percobaan, fakta, ketimbang memahami teori perkembangan universal pikiran
manusia, yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum logika formal, yang berada di luar kontradiksi, mengabaikan
kontradiksi dalam teori dan realitas perkembangan universal. Hukum identitas
itu abstrak, tak melahirkan perubahan. Sebenarnya, dari dua preposisi yang
bertentangan tersebut, yang mana yang benar dan yang salah? Itu lah pertanyaan
dari penganut dialektika—yang melandasi pikirannya berdasarkan proses
alamiah—kepada penganut logika formal yang berkepala batu. Persoalan pikiran
ilmiah, yang sedang berhadapan dengan logika formal, tidak semata-mata
merupakan persoalan yang terjadi dari akhir abad ini saja namun sejak zaman
sebelumnya.
2. Logika Formal
Mendirikan Benteng/Hambatan (di Antara Segala Hal) yang Tak Boleh Diterobos
Logika formal memiliki kesalahan-kesalahan karena dikepung oleh
persoalan-persoalan material, ditelikung oleh ketidakmengertian terhadap fase
perkembangan semua persoalan, dan tak bisa mengerti mengenai cerminan,
refleksi, kenyataan objektif dalam jiwa kita. Antara kebenaran dan kesalahan
tak ada fase antaranya, tak ada tahap transisi dan rantai penghubungnya.
Hegel bicara tentang hal tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil posisi oposisi
di antara kebenaran dan kesalahan, serta menjadi pas, terlebih-lebih setelah
diterima entah sebagai perjanjian atau sebagai kontradiksi antara sistim
filsafat. Dan hanya melihat alasan pada sesuatu yang ada dalam
pernyataan-pernyataan sistim tersebut. Hal tersebut tidak lah menggambarkan
perbedaan sistim filsafat sebagai evolusi progresif kebenaran; tapi harus lebih
dilihat sebagai kontradiksi.”[8]
“Tunas menghilang setelah bunga berkembang, dan dapat kita katakan: yang
awal ditolak keberadaanya oleh yang berikut; sama dengan setelah buah muncul,
bunga bisa dijelaskan sebagai sesuatu bentuk yang salah (dari keberadaan
tumbuhan) bagi kemunculan buah, dilihat sebagai kebenaran alamiah menggantikan
bunga. Tahapan tersebut bukan berarti sekadar pembedaan; yang satu merupakan
pengganti, tak tepat lagi, bagi yang lain. Aktivitas tanpa henti hakikat
inherennya membuat mereka, pada saat yang sama, dan dalam seluruh momentumnya,
memiliki kesatuan organik, yang bukan saja sekadar nmengkontradiksikan yang
satu dengan dengan yang lainnya, namun yang satu merupakan keniscayaan bagi
yang lainnya; dan keniscayaan (setara) seluruh momen tersebut lah yang
menentukan kehidupannya secara keseluruhan. Tapi kontradiksi antar sistim
filsafat tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti itu; di lain pihak,
pikiran-jiwa yang menerima kontradiksi tersebut bukan berarti, secara akal
sehat, ia memiliki pengetahuan bahwa kebenaran merupakan hasil perbaikan dan
pembebasan dari kesalahan bersatu-sisi, dan mengakui bahwa semua itu merupakan
hasil dari kehadiran momen-momen selayaknya (niscaya) yang saling melengkapi atau
berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan dan, secara inheren,
antagonostik.”
Jika kita menggunakan logika formal sebagai nilai, maka kita harus mengakui
bahwa semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah mutlak independen dari
segala hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan sebagai segala sesuatu
yang eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah dari segala hal.
Posisi filsafat yang menggambarkan logika tersebut mencapai hasil akhir
berupa: filsafat idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa asumsi bahwa
tidak ada yang benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu bisa diketahui
dari soligisme (dalam kata latin) solus
ipse (aku sendiri).
Itu lah cerminan posisi absur dalam melihat sesuatu. Apapun teori yang
dikemukakannya, ia hanya mengakui keberadaan dirinya. Lebih jauh lagi, jika
kita mau sedikit lebih mendalam, bagaimanapun terisolasi dan independennya
sesuatu hal, sebenarnya ia membutuhkan keberadaan yang lain.
Untuk berada dan menjadi dirinya, jika kita tidak menghubungkannya dengan
sesuatu yang terkait dengan realitas, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti
secara tepat dan pas.
Segala sesuatu akan melaju dan mengubah dirinya menjadi sesuatu yang baru.
Untuk mengerti hal tersebut, kita harus menerobos batasan-batasan formal yang
memisahkan satu dengan yang lainnya. Sejauh ini, kita tahu bahwa tak ada benda
yang diam.
“Preposisi fundamental dialektika Marxisme: semua batasan dalam alam dan
masyarakat adalah konvensional dan bergerak, artinya: tak ada satu fenomena pun
yang, ketika berada di bawah kondisi-kondisi tertentu, tidak berubah menjadi
bertentangan,” kata Lenin.[9]
Dalam skala sejarah yang lebih luas, Trotsky berkata bahwa: ”kesadaran
tumbuh dari ketidak sadaran, psikologi dari luar psikologi, dunia organik dari
non-organik, sistim tata surya dari nebula.”[10]
Penghancuran batas-batas, perjalan sesuatu menjadi yang lainnya,
ketergantugan bersamanya, tidak terlepas dari garis perkembangan sejarah itu
sendiri; semuanya berjalan bersama kita. Kita bertindak berbasiskan ide, dan
ide tersebut kehilangan karakter mental yang mendominasinya serta menjadi
kekuatan aktif di dalam dunia lewat diri kita. Marx menunjukkan bahwa sebuah
sistim ide, seperti sosialisme, menjadi sebuah kekuatan material ketika ia
berada dalam pikiran massa kelas pekerja, dan akan bergerak dalam aksi-aksi
untuk merealisasikannya—perjuangan menuju sosialisme.
Segalanya memiliki garis batas demarkasi, yang membatasi segala sesuatu.
Bila tidak, ia tak akan menjadi sebuah tubuh yang memiliki identitas yang unik.
Kita harus menemukan batasan-batasan tersebut dalam praktek dan menyusunnya
dalam pikiran kita. Tapi batasan-batasan tersebut jangan menjadi kaku dan
menelikung segala kondisi; batasan-batasan tersebut tak akan sama dalam setiap
saat. Mereka berfluktuasai menurut proses perubahan. Batasan-batasan relatif,
gerak dan cair dikenal namun ditolak oleh logika formal. Hukum tersebut
menyimpulkan segalanya memiliki batasan-batasan tapi, yang lebih penting lagi,
bahwa batasan-batasan tersebut memiliki pembatas-pembatas bagi dirinya.
3. Logika Formal Menolak
Pembedaan Setiap Identitas
Kita telah melihat bahwa logika formal menggambarkan pembatasan tajam
antara kesamaan, atau identitas (identity),
dengan perbedaan (difference).
Semuanya ditempatkan dalam pertentangan yang mutlak satu dengan yang lainnya.
Jika terdapat hubungan antara keduanya, dianggap kebetulan dan eksternal serta
tidak akan berdampak pada keberadaan internalnya.
Penganut logika formal melihat semua itu sebagai sebuah kontradiksi logis,
dan merupakan sebuah horor yang mengerikan untuk mengatakan—seperti para
penganut dialektika—bahwa identitas bisa menjadi perbedaan, dan perbedaan bisa
menjadi identitas. Mereka yakin bahwa identitas adalah identitas dan perbedaan
dalah perbedaan, dan tidak dapat sama pada saat yang bersamaan. Coba kita
bandingkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan fakta-fakta pengalaman yang
diuji dari kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam Dialectic of Nature, Engels
mengatakan: “Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap saat dalam hidupnya
adalah sama dengan dirinya dan menjadi berbeda dari dirinya, karena bergabung
dan mengalir dalam substansi hidup, karena respirasinya[11],
karena pembentukan sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang
bergantian, dengan singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul
yang membuatnya hidup. Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan
bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase kehidupan: fase embrio,
remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia lanjut dan kematian. Semua
itu adalah bagian dari evolusi semua spesies di bumi. Fisiologi lebih lanjut
menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak berhenti, tidak selesai
dan, yang lebih penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda di dalam
identitasnya. Namun pandangan abstrak-kuno indetitas formal memahaminya bahwa
suatu organik berada seperti sebuah identitas yang sederhana dalam dirinya,
konstan dan statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun demikian, corak berpikir itu berbasiskan seperti itu, bersama dengan
kategorinya, terus menerus bertahan. Tapi, bahkan dalam hakikat non-organik
pun, identitas seperti itu tak terdapat dalam realita. Setiap orang terus
menerus menunjukkan dan menerima pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan kimia,
yang selalu merubah dan memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng absolut tak mungkin bisa didirikan oleh logika
formal—misalnya dalam kasus antara dua hal yang saling berpenetrasi dalam
realitas yang berlanjut, bergerak—karena telah dicuci oleh proses perkembangan
sehingga kemudian perbedaan telah menjadi kesamaan. Sebelum kami datang ke
gedung ini, kami adalah orang-orang New York yang berbeda-beda. Persamaan
menjadi perbedaan: setelah pelajaran ini selesai, kita akan berpisah ke tempat
yang berbeda-beda. Perubahan dari perbedaan menjadi persamaan dan persamaan
menjadi perbedaan mengambil peran dalam semua hubungan. Tunas yang mekar
menjadi bunga, bunga menjadi buah, sehingga setiap fasenya yang berbeda adalah
menjadi bagian dari pohon yang sama.Tidak seperti hukum logika formal, kesamaan
material yang nyata tidak menyingkirkan dari dirinya sendiri
perbedaan-perbedaan yang ada tapi mengisi ke/di dalam dirinya sebagai bagian
yang esensial. Perbedaan nyata tidak membuang kesamaan tapi memasukkannya
sebagai elemen esensial di dalam dirinya. Kedua bentuk tersebut dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat pembedaan dalam pemikiran,
tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa, dalam realita, mereka
bisa dipisah-pisahkankan.
4. Hukum-hukum Logika
Formal: Absolut
Ketidaklengkapan keempat hukum logika formal adalah bahwa mereka menyatakan
dirinya sebagi sesuatu yang absolut, mutlak, final, tak bersyarat, dan
pengecualian adalah tidak mungkin. Mereka mengatur dunia pemikirannya dengan
cara yang totaliter, memastikan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan dalam
segala hal, memanjat otoritas tanpa batas demi kedaulatan mereka. A selalu sama
dengan A, tak ada satu pun yang bisa menggugatnya.
Sialnya, bagi penganut logika formal, tak ada di dunia ini yang seperti
mereka kemukakan. Ternyata, segalanya hadir sebagaimana aslinya, dengan sejarah
dan syarat-syarat materialnya yang sudah tertentu, baik dalam hubungan satu
dengan yang lainnya maupun dalam keterpisahannya, dan setiap waktu proporsinya
sudah tertentu serta dapat diukur. Masyarakat manusia, contohnya. Manusia hadir
di muka bumi pada waktu tertentu dan secara material dibedakan evolusinya
(lebih tinggi) dari binatang. Namun Ia tak dapat dipisah-pisahkan sebagai
sesuatu yang organik atau non-organik; mereka berkembang dalam derajat-derajat
tertentu dan kehadirannya telah melangkah jauh, tumbuh, secara kwantitif penuh
menuju kwalitatif yang berbeda. Setiap tahap perkembangan sosialnya memiliki
hukum perkembangan sendiri dan memiliki karakter-karakter khususnya.
Hukum yang mutlak tidak dapat lagi bertahan di dunia nyata. Dalam berbagai
tahap alam, perkembangan ilmu fisika, elemen kimia, molekul, atom, elektron
diyakini oleh pemikir-pemikir metafisika sebagai atau memiliki substansi yang
tidak berubah. Manusia tidak dapat mundur atau maju. Dengan kemajuan ilmu alam,
setiap bagian keabadian-mutlak telah ditumbangkan—setiap pembentukan
materialnya telah teruji memiliki syarat, terbatas dan relatif. Semua
kepentingannya yang menjadi mutlak, terbatas (secara absolut) dan tidak berubah
telah terbukti: salah.
Ketika, pada akhir abad ke-19, ilmuwan mulai mengadakan dan memperoleh
berbagai macam penemuan, ilmuwan sosial Amerika Serikat malah meyakini bahwa
demokrasi borjuis merupakan bentuk mahkota pemerintahan bagi peradaban manusia.
Namun, pengalaman sejarah sejak 1917 telah menjadi saksi bahwa demokrasi
borjuis telah ditumbangkan oleh bolsevikisme dan fascisme—telah terbukti bahwa
alangkah terbatasnya sejarah ini, dan alangkah banyak serta bersyaratnya
bentuk-bentuk kapitalisme.
Jika setiap hal hadir di bawah syarat material sejarah tertentu,
berkembang, beragam, kemudian menghilang, bagaimana mungkin hukum absolut
berlaku pada segala hal dengan cara yang sama, pada derajat yang sama, di
setiap waktu dan di bawah semua syarat-syarat tertentu? Itu tentunya merupakan
klaim yang dibuat oleh logika formal. Tuntutannya pada realistas, dan dalam
pencarian hukum-hukumnya, logika formal menyebabkan ilmuwan jatuh pada kebutaan
logika.
Pada analisanya yang terakhir, hanya Sang Absolut lah yang memenuhi standar
logika formal. Sang Absolut lah yang seharusnya mulak, tidak terikat, sempurna,
independen dari segalanya...
5. Logika Formal Bisa
Membuat Perhitungan tentang Segala Hal—Tapi Bukan atas Dirinya
Akhirnya, hukum logika formal, yang seharusnya memberikan penjelasan
rasional bagi segala hal, memiliki kesalahan yang serius. Logika formal tak
bisa memperhitungkan atas dirinya. Menurut teori Marxisme, segalanya menjadi
ada karena hasil dari sebab-sebab material, yang berkembang lewat fase-fase
yang silih-berganti, yang akhirnya mati.
Bagaimana logika formal dan hukummya? Dimana, kapan dan mengapa segala hal
bertumbuh, bagaimana segala hal berkembang? Apakah segala hal abadi?
Jika kau menantang penganut logika formal, bertanya bagaimana cara
menerapkan hukum-hukum logika ke dalam sejarah dan bagaimana menerima
aturan-aturan universal tersebut maka, tak ada yang berbeda, mereka akan
menjawab seperti halnya kaum monarki menjawabnya: kami melakukannya atas nama
... (Sang Absolut)
Kita lihat berapa banyak kebenaran dalam dialektika dan agama seperti yang
dibuat profesor James Burnham dan Sidney Hook. Dalam kenyataanya, logika formal
berjalan bergandengan dengan ke-Absolut-an dan dogmatisme. Sebagai hukum-hukum
keabadian.
Logika formal berdiri bersamaan dengan prinsip-prinsip keabadian moralitas,
seperti yang digambarkan Trotsky: “Surga selalu hanya dijadikan senjata—yang
digunakan dalam operasi militer—untuk melawan dialektika materialis.”[12]
Pada kenyataannya, logika formal muncul dalam suatu masyarakat pada tahapan
tertentu, dalam sebuah titik perkembangannya. Dan, kemudian, manusia dapat
menundukkan alam; kemudian ia berkembang sepanjang pertumbuhan umat manusia,
sepanjang pertumbuhan tenaga-tenaga produktifnya, hingga bisa bekerja sama
dengan pemikiran dialektik, yang ditanamkan lewat perkembangan lebih lanjutnya.
Tempat bagi logika dialektik ada dimana saja, tapi dibutuhkan suatu revolusi
dalam pemikiran manusia untuk menempatkannya secara tepat.
Salah satu kelebihan dialektika dari logika formal bisa dilihat dalam
kenyataan; tidak seperti logika formal, dialektika tidak hanya dapat menghitung
keberadaan logika formal namun juga dapat menunjukkan mengapa harus
menggantikan logika formal tersebut. Dialektika dapat menjelaskan tentang
dirinya, pada dirinya, dan pada yang lain. Oleh karenanya, dielektika lebih
logis ketimbang logika formal.
***
Mari kita melihat bagaimana kemajuan kritik kita terhadap logika formal.
Kita mulai dengan mencari kepastian tentang kebenaran logika formal. Kemudian
kita mencapai sebuah batas yang, bila kita teruskan (pencarian tersebut), hanya
akan berisi kesalahan-kesalahan semata. Kemudian kita dorong maju melewati
batasan tersebut. Maka kita, akhirnya, akan menolak “kebenaran” logika formal
yang tak bersyarat, absolut, bertentangan dengan apa yang hendak kita pastikan.
Hukum formalisme terlihat memiliki dua sisi, kebenaran dan
kesalahan.Kemudian, ketika segala hal menjadi lebih kompleks dan kontradiktif,
hukum-hukum bisa berkembang dan berubah sesuai dengan akal sehat saat
menganalisa tendensi yang berlawanan (secara terus menerus)—memang demikian lah
hukum yang ada dalam diri segala hal. Ketika kita meganalisa dua kutub yang
bertentangan dari segi karakter kontradiksinya, melepas saling-hubungan di
antaranya, maka kita dapatkan bagaimana dan mengapa masing-masing kutub
tersebut menjadi berubah sesuai dengan hukum-hukum dirinya masing-masing.
Itulah metode dialektik yang digunakan dalam berfikir. Hasilnya, kita akan
tiba di depan gerbang dialektika dengan menggunakan jalur dialektik yang
sejati. Itu lah sebabnya juga mengapa kemanusiaan akan sampai pada dialektika,
memegangnya sebagai sebuah sistim perumusan pemikiran. Manusia menemukan
batasan-batasan dalam logika, namun bisa menundukkannya dengan membuat sebuah
bentuk logika yang lebih tinggi lagi secara teoritis. Dialektika membuktikan
kebenarannya dengan mengaplikasikan metode berpikirnya demi menjelaskan dirinya
dan asal usulnya.
Dialektika hadir sebagai hasil dari sebuah revolusi sosial yang kolosal,
menembus batas semua bagian kehidupan. Dalam politik, representasi massa yang
bangkit secara tidak sadar kemudian dibimbing oleh pemahaman dialektik.
Mengetuk pintu kaum monarki dan menghancurkannya: “Waktu telah berubah, kami
menuntut kesederajatan!” Dengan semangat formalisme, dengan semangat logika
formal, kaum pembela absolutisme menjawab: “Kau salah, kau subversif, tidak ada
yang berubah dan tidak ada yang dapat berubah. Raja tetap lah raja, dimana saja
dan kapan saja. A sama dengan A, kedaulatan tidak dapat mensejajarkan manusia
yang bukan A, yang Non-A.” Alasan formal semacam itu tidak dapat membendung
kemajuan, kemenangan revolusi demokratik borjuis lah yang, kemudian,
menghancurkan monarki. Dialektika revolusioner, bukan logika formal, yang
berlaku dalam politik praktis.
Dalam ruang ilmu-pengetahuan, logika formal terjerumus dalam kriris
revolusioner yang sama sebagaimana yang dialami politik absolutisme. Kekuatan
baru ilmu-pengetahuan bangkit dalam perkembangan alam dan ilmu sosial—yang
memukul logika formal yang sudah berkuasa ribuan tahun—guna menuntut hak
mereka. Bagaimana revolusi logika dimulai dan dan ke mana arahnya, akan
dijadikan topik berikutnya.
***

[5] Engels F., Anti-Duhring, hal. 137.
[6] Ibid, hal. 137.
[7]
Engels, F., Dialektic of Nature, hal.
13.
[8]
Engels, F., dalam pembukaan Phenomenology
of Mind, hal. 68.
[9]
Lenin, Collected work, vol. 19, hal.
203.
[10]
Leon, Trotsky, In defence of Marxism,
hal. 51.
[11] Respiration: proses metabolisme
organisme dalam menyerap, mengasimilasikan, oksigen dan melepaskan karbon
dioksida dan segala produk oksidasi; bernafas; Webster’s II New Riverside University Dictionary, The Riverside
Publishing Company, hal.1001.
[12]
Trotsky, Leon, Their Moral and Ours,
hal. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar