Manusia Marx
John Roosa
Saat memutuskan untuk
mempertahankan larangan terhadap Marxisme-Leninisme awal 2000, anggota MPR
sebenarnya terbenam dalam kontradiksi logis. Kalau mau melarang sesuatu
seseorang harus bisa mengidentifikasi, mendefinisikan dan tahu apa yang mau
dilarang. Sementara untuk tahu apa yang dimaksud Marxisme-Leninisme orang harus
membaca buku-buku yang dilarang oleh MPR. Pejabat pemerintah yang mau
menegakkan aturan itu harus melanggarnya lebih dulu: mereka harus mempelajari
apa yang akan mereka sensor. MPR menetapkan aturan yang tidak mungkin
dilaksanakan oleh pemerintah dan tidak mungkin ditaati masyarakat pula. Negara
mencap Marxisme-Leninisme sebagai sesuatu
yang jahat tapi tidak mampu, tanpa melanggar hukumnya sendiri, merumuskan apa sesuatu itu: apakah sesuatu itu ideologi? Pendekatan filsafat? Metodologi ilmu sosial?
Cara berpikir? Atau setan dari neraka yang bangkit tiap malam Jumat?
Karena
hanya disuruh membenci tanpa pernah tahu apa yang dibenci, maka lahirlah
pandangan irasional tentang Marxisme-Leninisme di Indonesia. Marxisme-Leninisme
menjadi hantu yang keberadaannya harus dipercaya semua orang tapi tanpa seorang
pun dapat menunjukkan wujudnya. Karena orang tidak bisa mengidentifikasi hantu
itu, mereka cenderung percaya bahwa pejabat negaralah yang tahu caranya.
Kabarnya beberapa pejabat tinggi, seperti para pengajar di Lemhanas, membaca
buku-buku Marx dan Lenin dan memahami seluruh isinya (Artinya setiap orang yang
diindoktrinasi oleh Orde Baru harus mencurigai para pejabat ini sebagai
Marxis-Leninis). Jika negara memproklamirkan hantu Marxisme-Leninisme itu telah
"menyusup" ke partai-partai politik, organisasi hak asasi manusia,
serikat buruh, maka semestinya kita setuju bahwa negara lebih tahu soal itu
dari kita. Walau partai atau organisasi yang kita lihat sebenarnya biasa saja,
pejabat negara ternyata tahu wujud setan bertopeng itu. Mereka tahu cara
melihat hantu; rupanya ada alat optik khusus yang membuat mereka bisa melihat
hal-hal yang tak terlihat oleh kita. Kita tidak boleh bikin penilaian sendiri
tentang baik-buruknya pemikiran atau organisasi tertentu; kita harus percaya
para pejabat karena mereka lebih tahu dari kita. Mereka tahu semua bahaya laten
di atas maupun bawah tanah. Para politisi pasca-Soeharto, yang menyetujui
pelarangan Marxisme-Leninisme, rupanya tetap percaya bahwa orang Indonesia
belum cukup umur untuk berpikir sendiri. Massa mengambang terus saja
mengambang.
Sebenarnya sejak 1966 para
pejabat negara itulah yang mengambang dalam ketidaktahuan. Mereka mendapat
tugas melarang sesuatu yang tidak mereka pahami, sehingga mahasiswa Indonesia
dengan bebas membaca karya Antonio Gramsci karena para pejabat tidak tahu bahwa
ia seorang Marxis. Tapi di sisi lain ada tukang bakso miskin yang menulis
"PKI Madiun Bangkit" di dinding rumahnya tahun 1995, dan langsung
diseret ke kantor polisi dan diinterogasi karena dianggap pimpinan PKI bawah
tanah yang baru. Pejabat negara terus menengarai kehadiran PKI dalam gambar di
sampul kaset, cincin dan kaos oblong. Di Jawa Tengah, bahkan merek baju Hammer
(Palu) dan jeans Tira (kalau dibalik,
Arit) dicurigai sebagai "cara-cara komunis menyampaikan pesan".
Tentu saja kebanyakan orang
Indonesia, berhadapan dengan negara yang terus bicara tentang
Marxisme-Leninisme sebagai hantu jahat tanpa pernah menjelaskannya, ingin tahu
apa sesungguhnya mahluk misterius itu. Atmosfir irasional, yang mirip dengan
penggeropyokan dukun santet, tidak memungkinkan kita melihat soal yang sangat
mendasar: kita sebenarnya tidak mungkin mendefinisikan Marxisme-Leninisme.
Pelarangan sesuatu secara hukum bertolak dari anggapan bahwa sesuatu itu dapat
didefinisikan. Tapi di sini hukum melarang sesuatu yang tidak pernah disepakati
definisinya. Tak seorang pun dengan pasti bisa menyatakan apa sesungguhnya Marxisme-Leninisme
itu. Perbedaan pendapat yang paling hebat justru terjadi di antara mereka yang
menganggap diri sebagai pengibar bendera Marxisme-Leninisme. Perbedaan itu
bukan semata soal istilah atau kata yang ditafsir berbeda tapi ada interpretasi
yang bertentangan dan tidak dapat didamaikan.
Terjadinya Isme-Isme
Mari kita mulai dari istilahnya
yang terdiri atas nama belakang dua orang, Marx dan Lenin, yang digabungkan
dengan tanda hubung lalu diberi imbuhan -isme untuk menjadikannya sejenis
doktrin. Analisis linguistik sederhana itu membawa pertanyaan: bagaimana hidup
dan karya seorang Jerman (1818-1883) dan seorang Rusia (1870-1924) itu bisa
menjadi -isme? Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin tidak pernah bertemu semasa
hidup. Lenin adalah remaja 13 tahun di Simbirsk, Rusia ketika Marx meninggal
dunia di London. Artinya dua orang itu tidak pernah bertemu dan duduk bersama
membuat rancangan prinsip-prinsip apa pun. Lalu bagaimana caranya kedua -isme
itu digabung dan dianggap sebagai kesatuan?
Marx dan Lenin memang tokoh
dalam sejarah; mereka hidup pada saat dan tempat tertentu. Tapi fakta sederhana
ini perlu diingat ketika kita bicara tentang gagasan mereka sebagai -isme.
Keduanya adalah anak sekolah yang beranjak dewasa lalu sakit-sakitan dan
menjadi tua. Mereka berulangkali berubah pikiran saat mendalami subyek tertentu
dan berhadapan dengan dunia yang terus berubah. Mereka tidak selalu konsisten
pada apa yang dikatakan sebelumnya. Dan tidak semua tulisan mereka disusun
dengan jelas. Mereka meninggalkan sejumlah teks yang lebih menyerupai potongan
daripada sebuah cerita utuh. Keduanya tidak pernah menulis pernyataan lugas dan
tegas yang dengan mudah bisa ditafsirkan sebagai -isme seperti misalnya sepuluh
perintah Allah. Marx pernah menulis kalimat yang kemudian terkenal kepada
sejumlah pembaca yang mengklaim diri "Marxis", "yang saya tahu,
saya bukanlah seorang Marxis".
Gagasan Marx diolah menjadi
-isme setelah ia tiada. Tahun 1883 saat ia meninggal, ada gerakan radikal yang
hidup di Eropa. Dalam perdebatan di antara orang-orang yang ingin mengubah
masyarakat itu, ada yang merujuk tulisan-tulisan Marx sebagai sumber kebajikan.
Marx memang intelektual yang luar biasa dan seringkali mengungguli argumen
lawan-lawannya. Di tanah kelahirannya, Jerman, banyak pemimpin gerakan
Sosial-Demokratik (seperti Edward Bernstein dan Karl Kautsky) adalah pembela
apa yang mereka sendiri sebut sebagai Marxisme. Mereka boleh dibilang adalah
pembela terpenting karena mewakili gerakan jutaan buruh dan memiliki sumberdaya
yang mengesankan. Mereka melihat Marxisme sebagai analisis kapitalisme modern.
Kautsky menyebutnya "doktrin ekonomi" dan memasang frasa itu dalam
judul bukunya. Marxisme bagi mereka terutama adalah teori mengenai upah, profit
dan harga.
Sementara itu Lenin muda, yang
sangat dipengaruhi oleh diskusi Marxisme di Jerman ketika tinggal di Rusia,
adalah salah satu aktivis radikal yang melihat gagasan Marx sebagai -isme. Tapi
ia melangkah lebih jauh daripada penulis seperti Kautsky. Saat berusia 20-an
dan 30-an tahun ia emnulis tentang Marxisme sebagai jalan memahami segala
sesuatu. Ia menyebutnya: "pandangan dunia". Marxisme bagi Lenin bukan
hanya cara memahami masyarakat kapitalis modern melainkan doktrin menyeluruh
dengan yang dilengkapi prinsip-prinsip dasar untuk memahami keseluruhan sejarah
umat manusia, proses hidup tanaman dan hewan, dan bentuk kehidupan di masa
mendatang. Prinsip dasar Marxisme versinya atau kunci untuk memahami semua
kenyataan di dunia, adalah materialisme dan dialektika. Lihat misalnya tulisan Marxisme dan Revisionisme yang terbit
1908. Saat merumuskan strategi gerakan ia menggunakan Marxisme seperti
pentungan untuk menghajar aktivis radikal lain yang menjadi lawan debatnya.
Karena itu dengan Marxisme versinya, ia bisa mengklaim tahu kebenaran absolut
tentang dunia dan arah perjalanan sejarah.
Ketika partai Bolshevik yang
dipimpin Lenin berhasil melancarkan revolusi melawan Tsar Rusia tahun 1917 dan
menjadi partai berkuasa, orang pun menganggap Lenin memiliki strategi yang
tepat. Dan kalau strateginya tepat, maka ia tentu punya prinsip-prinsip
filsafat yang tepat pula untuk memandu strateginya. Keberhasilan gerakannya
membuat teorinya mengenai Marxisme seakan tanpa cacat. Setelah 1917 kaum
radikal menganggap Lenin sebagai penasfir gagasan Marx yang paling tepat. Lenin
menjelaskan strateginya sebagai pembaruan dan adaptasi Marxisme secara kreatif.
Terobosannya ada pada teori mengenai organisasi. Inti dari paradigma Lenin
adalah membangun partai politik yang dapat merebut kekuasaan negara melalui
insureksi di kota yang dilakukan oleh buruh industri.
Selama terlibat mengorganisir
buruh Marx tidak pernah membentuk partai politik untuk merebut kekuasaan
negara. Marx adalah motor penggerak yang membangun federasi serikat buruh
internasional antara 1864 sampai 1872, yang dikenal dengan sebutan
Internasionale Pertama. Federasi itu bukan sebuah badan terpusat dari atas ke
bawah yang memberi perintah cabang-cabangnya untuk bertindak, melainkan
kumpulan berbagai serikat (dari Prancis, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan
lainnya) yang bertemu tiap tahun, memperdebatkan strategi dan memberi santunan
bagi buruh yang mogok. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Amerika tahun
1871 Marx mengatakan pencapaian terbesar dari federasi itu adalah menghalangi
buruh dari berbagai negeri dipakai untuk melawan satu sama lain:
"Sebelumnya, pemogokan di satu negeri dipatahkan dengan mendatangkan buruh
dari negeri lain. Internasionale hampir berhasil menghentikan itu. Organisasi
ini menerima informasi rencana mogok, menyebarluaskan informasi itu kepada
anggotanya, dan seketika menganggap tempat yang dilanda mogok sebagai daerah
terlarang. Kaum majikan dengan begitu harus berhadapan sendiri dengan buruhnya.
Dengan begini, pemogokan pembuat cerutu di Barcelona berhasil meraih kemenangan
pada hari berikutnya." Internasionale Marx adalah organisasi
serikat-serikat buruh, bukan himpunan partai politik.
Marx yakin bahwa buruh
seharusnya mengambil kekuasaan negara tapi tidak punya blueprint universal untuk mencapai tujuan itu. Cara buruh mengambilalih
kekuasaan akan berbeda dari satu negeri ke negeri lain. Ada banyak metode
berbeda untuk meningkatkan kekuatan buruh: koperasi, serikat buruh, partai
politik dan seterusnya. Ia berpikir bahwa di negeri tertentu seperti Inggris,
di mana hak-hak sipil lebih diakui, buruh dapat merebut kekuasaan dengan aksi
politik sipil. Dalam wawancara yang sama ia mengatakan, "Insureksi tidak
masuk akal kalau agitasi damai lebih cepat dan pasti mendatangkan hasil."
Penekanan Lenin pada partai
politik sebagai pelopor yang memimpin gerakan buruh untuk merebut kekuasaan
negara melalui insureksi mungkin salah satu penafsiran yang balid terhadap
gagasan Marx mengenai strategi. Tapi jelas bukan satu-satunya penafsiran yang
valid. Masalahnya keberhasilan Revolusi Soviet membuat strategi Lenin
seolah-olah satu-satunya penafsiran yang valid untuk semua negeri.
Seperti halnya berbagai
penafsiran Marxisme dibakukan setelah kematian Marx, berbagai tafsir terhadap
Leninisme juga dibakukan setelah Lenin wafat. Orang yang paling
bertanggungjawab untuk membakukan versi resmi Leninisme adalah Josef Stalin,
pemimpin Partai Komunis Uni Soviet yang bertangan besi. Sebelum kematiannya,
Lenin mengingatkan pemimpin partai yang lain bahwa Stalin tidak boleh dibiarkan
memimpin partai. Tapi Stalin akhirnya berhasil merebut kepemimpinan dalam
pertarungan setelah kematian Lenin dan menciptakan kediktatoran. Lenin yang
mengembangkan pikirannya sendiri tentang Marxisme, setidaknya masih setia pada
pikiran Marx. Tapi Stalin menciptakan Leninisme yang sepenuhnya mengingkari
Lenin (dan Marx).
Stalin menciptakan kultus
individu Lenin yang sudah meninggal: patung-patung Lenin dididirikan di seluruh
Uni Soviet, anak sekolah diajar untuk menyembahnya seperti tokoh superhuman tanpa cacat, dan sebuah mausoleum
dibangun di Moskow, menjadi semacam tempat ziarah baru. Stalin mengatur agar
jenazah Lenin dibalsem dan dengan begitu diabadikan seperti seorang firaun dari
Mesir. Tafsir Stalin terhadap Lenin sebenarnya mencerminkan hal yang sama:
membuat pikiran Lenin menjadi mumi yang tak bergerak. Saat jenazah Lenin tengah
dibalsem, Stalin memberi kuliah di universitas yang kemudian diterbitkan 1924
dalam bentuk buku yang berjudul Dasar-Dasar
Leninisme. Di bawah Stalin, Leninisme dan juga Marxisme, tidak lebih dari
ideologi negara yang sakral. Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama resmi
negara.
Salah satu ritual partai
komunis di Uni Soviet adalah memasang potret Marx, Engels, Lenin dan Stalin
dalam satu baris, seolah mereka adalah deretan orang suci, yang menghibahkan
bendera revolusi buruh dari satu generasi ke yang lain. Potret-potret itu
biasanya dipasang dalam pigura dan digantung di kantor-kantor partai. Gambar
potret empat tokoh berukuran besar dipasang di lapangan kota dan stadion
olahraga.
Saat memasuki usia senja, Karl
Kautsky, merenungi pendewaan empat orang itu dan vulgarisasi pikiran Marx di
Uni Soivet. Dalam Marxisme dan
Bolshevisme yang terbit 1934 ia menulis, "tak ada yang lebih
dikhawatirkan Marx daripada pendangkalan ajarannya menjadi sekte yang ketat…
Apa yang akan dikatakannya seandainya masih hidup melihat sekelompok Marxis
yang berhasil merebut kekuasaan negara malah membuat Marxisme menjadi agama
negara, sebuah agama yang keyakinan dan tafsirnya diawasi oleh negara, sebuah
agama yang tidak boleh ditafsirkan berbeda – salah sedikit mendapat ganjaran
keras dari negara; sebuah Marxisme
yang berkuasa dengan cara-cara sama seperti Inkuisisi Spanyol, dikobarkan
dengan api dan pedang, menciptakan praktek ritual teatrikal seperti yang
digambarkan oleh jenazah Lenin dibalut balsem?"
Membebaskan Marx dari Marxisme Soviet dan Anti-Marxisme
Uni Soviet di bawah Stalin dan
penerusnya, begitu memuja Marx sampai-sampai justru melecehkannya. Marx,
pelarian berjenggot asal Jerman yang hidup miskin di London akhirnya dianggap
bertanggungjawab atas kejahatan kediktatoran Stalin yang mengerikan dan terjadi
di sebelah timur Eropa 50 tahun setelah kematiannya. Orang anti-komunis
mengatakan gagasan Marx adalah akar totalitarianisme Stalin. Beberapa di
antaranya malah secara absurd mengatakan bahwa akarnya dapat ditelusuri lebih
jauh kepada mereka yang mempengaruhi Marx, seperti Hegel dan Rousseau. Mereka
menilai Marx berdasarkan apa yang terjadi di Uni Soviet. Karena itu Marxisme
dianggap runtuh seiring ambruknya Uni Soviet tahun 1990, seolah-olah nasib
analisis Marx tentang kapitalisme sepenuhnya bergantung pada keberadaan Uni
Soviet.
Literatur tentang Marxisme yang
diterbitkan negara Soviet juga mengacaukan persepsi kita tentang Marx.
Terbitan-terbitan itu cenderung mereduksi gagasan Marx menjadi perangkat
prinsip yang kebal kritik: materialisme historis dan materialisme dialektik
adalah prinsip yang paling terkenal, seperti dikatakan Herbert Marcuse dalam Marxisme Soviet: Sebuah Kritik.
Marx sendiri tidak pernah membuat
apalagi menganut prinsip-prinsip yang dalam kepustakaan Soviet disebut berasal
darinya. Menurut versi standar Soviet tentang materialisme historis, Marx
digambarkan sebagai orang yang percaya bahwa perubahan dalam teknologi akan
menghasilkan perubahan dalam pengorganisasian produksi ekonomi yang nantinya
akan menghasilkan perubahan dalam kebudayaan. Ini adalah pandangan teori
sejarah "determinsime teknologi", karena menganggap teknologi sebagai
penyebab dasar semua perubahan sosial. Marx sendiri tahun 1881 menulis
surat-surat kepada "Marxis" Rusia yang mengatakan teori
"determinisme teknologi" ini adalah miliknya. Marx membalas bahwa ia
tidak pernah bermaksud merumuskan "teori lintas-sejarah" yang valid
untuk sejarah umat manusia.
Untuk memahami pikiran Marx,
orang perlu membaca teks-teksnya dan memahaminya dalam konteks sejarah,
membebaskannya dari interpretasi mereka yang menyebut dirinya Marxis. Pikiran
Marx seharusnya dilihat lepas dari pikiran orang lain, termasuk sahabatnya yang
sering menulis bersama, Friedrich Engels. Berbeda dari anggapan tradisi Marxis
yang berkembang kemudian, kedua orang ini tidak bisa dianggap sebagai kembar
siam secara ideologi. Dalam beberapa hal, tulisan Engels justru menjadi awal
dari vulgarisasi pikiran-pikiran Marx. Ia misalnya menulis tentang dialektika
sebagai prinsip a priori untuk memahami semua gejala alam. Prinsip yang sama
sekali tidak ada dalam tulisan Marx. Karena Engels hidup lebih lama, sampai
1894, ia giat terlibat dalam politik radikal di Eropa dan banyak Marxis,
termasuk Lenin, memahami Marx berdasarkan tafsiran Engels.
Marx bukan orang suci atau
setan. Ia seorang intelektual cemerlang yang coba memahami dunia sekelilingnya.
Argumennya tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritik, tapi sebaliknya tidak bisa
dikritik tanpa terlebih dulu menggeluti teks-teksnya secara teliti. Pikiran
Marx dalam hal ini sama pentingnya bagi zaman modern seperti halnya Kant,
Hegel, Darwin, Freud dan Weber.
Sering dikatakan bahwa ilmu
sosial Barat adalah dialog berkepanjangan dengan Marx. Dialog ini biasanya
tidak adil terhadap Marx. Jika di Indonesia setelah 1965 kaum intelektual
menyetujui pemberangusan pikiran Marx, di Barat intelektual membiarkan Marx
bicara tapi tidak mau mendengarkannya. Buku-bukunya bisa didapat dengan bebas
dan dipakai dalam kuliah di universitas. Teks-teks Marx bukan hanya sulit
dibaca tapi juga dikelilingi rerimbunan argumen anti-Marxis. Banyak intelektual
yang sepertinya merasa wajib menciptakan alasan tertentu untuk mendiskreditkan
dirinya. Dengan adanya sentimen anti-Marxis ini, tentu mudah menganggap Marx
sebagai idiot atau sebagai pemberontak yang bernapsu jahat tanpa berusaha
mendengarnya terlebih dulu.
Dalam hitungan saya sekurangnya
ada delapan kritik terhadap Marx yang biasa dipakai. Ia dituduh, (1) terlalu
materialistik dan tidak memberi perhatian pada ideologi dan kebudayaan, (2)
seorang pemikir dari abad ke-19 yang tidak relevan lagi dalam abad ke-20 atau
ke-21 ini, (3) seorang pemikir Eropa yang tidak relevan bagi wilayah lain di
luar Eropa, (4) seorang chauvinist
yang mendukung kolonialisme, (5) menerapkan pandangan "teleologis"
dalam sejarah – artinya menganggap masyarakat manusia menuju arah tertentu,
yakni sosialisme, (6) hanya memperhatikan penindasan kelas dan tidak memahami
jenis-jenis penindasan lain seperti misalnya, ras dan jender, (7) menentang
demokrasi karena mendukung gagasan "kediktatoran proleratiat" dan (8)
seorang ateis yang menganggap agama sebagai "candu bagi rakyat".
Saya pikir tak satu pun kritik
itu akan berlaku setelah kita membaca karya Marx dengan hati-hati.
Kritik-kritik itu biasanya salah sama sekali dan harus ditolak, atau tidak
terlalu tepat sehingga harus dirumuskan lagi. Misalnya mengenai butir terakhir.
Ia tidak melihat agama semata-mata sebagai siasat kelas penguasa untuk menipu
kelas-kelas bawah dan menghalangi mereka memahami realitas penindasan (karena
itu disebut "candu bagi rakyat"). Ia juga menyebut agama sebagai
"hati dalam dunia tanpa nurani" dan "keluh duka kaum tertindas".
Ia paham bahwa buruh berpaling pada lembaga agama untuk mencari dukungan
emosional dan bantuan ekonomi saat mereka berjuang bertahan hidup dalam
ketidakpedulian terhadap nasib mereka. Dalam hal ini Marx sama ateisnya dengan
kaum borjuis di zamannya. Seperti banyak orang lain di zaman itu, ia menganggap
berkembangnya ilmu dan keamanan ekonomi membuat orang tidak lagi melihat
perlunya agama. Jadi, ia tak pernah menyerang agama atau mengobarkan pelarangan
terhadap agama. Tentu saja ada alasan untuk bersikap kritis terhadap Marx.
Anjuran saya, sebaiknya kita mempelajarinya sungguh-sungguh sebelum mengkritik.
Sungguh ironis bahwa politisi
Indonesia memilih mempertahankan pelarangan terhadap tulisan Marx setelah
krisis ekonomi Asia 1997. Padahal Marx dengan piawai menggambarkan naik turunnya
siklus kapitalisme yang dahsyat: "Revolusi terus menerus dalam produksi,
kacaunya kondisi sosial tanpa henti, ketidakpastian dan kegelisahan yang
berurat-akar membedakan era borjuis dari yang ada sebelumnya. Semua hubungan
yang pasti dan membeku, berikut gelombang prasangka dan pendapat yang kuno lagi
suci, disapu habis, segala yang baru terbentuk menjadi usang sebelum sempat
mengental. Segala yang padat menguap dalam udara". Bukankah kalimat dari
1848 ini dengan tepat menggambarkan keadaan Indonesia sekarang, ketika semua
yang kita anggap padat ternyata menguap dalam udara?
Krisis ekonomi mengungkap bahwa
kemakmuran dan keamanan Orde Baru sebenarnya ilusi saja – semuanya menguap
dalam udara. Bukankah kapitalisme, sistem yang hanya dapat bertahan dengan pertumbuhan
dan pasar tanpa kontrol, senantiasa menghasilkan perubahan dan instabilitas?
Bukankah tujuan Marx sesungguhnya adalah mengakhiri perubahan dahsyat dan
revolusi yang dihasilkan kapitalisme itu? Anggota MPR bisa saja melarang
tulisan Marx karena dianggap "revolusioner", tapi apa yang mereka
lakukan untuk mencegah revolusi-revolusi kapitalisme, seperti revolusi yang
menghantam Indonesia tahun 1997 dan berakibat jutaan orang menjadi penganggur
dan terhempas ke kemiskinan absolut?
>>>Untuk membaca karya-karya
Marx, Engels, Kautsky, Lenin dan Marxis lainnya kita dapat melihat arsip
Internet yang tidak berhasil disensor pemerintah Indonesia di www.marxists.org
JOHN ROOSA,
sejarawan yang bekerja di Universitas California, Berkeley, AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar