LOGIKA MARX II
Bahan II: Keterbatasan Logika Formal
Pada
bahan pelajaran pertama kita telah menjawab tiga pertanyaan.
1.
Apa itu logika? Kita mendifininisikan logika sebagai
sebuah ilmu proses berpikir dalam hubungannya dengan semua proses yang lain di
dunia ini. Kita telah belajar mengetahui dua sistim penting dalam logika:
logika formal dan logika dialektik.
2.
Apa itu logika formal? Kita telah belajar memahami
bahwa logika formal adalah cara berpikir yang didominasi oleh hukum identitas,
hukum kontradiksi dan kukum tak ada jalan tengah (excluded middle). Kita telah paham bahwa ketiga hukum fundamental
logika formal tersebut memiliki isi materi dan basis objektif; yang dirumuskan
secara eksplisit berdasarkan logika instinktif yang ada pada akal sehat; yang
bersisikan aturan-aturan berfikir dalam kehidupan borjuis.
3.
Apa hubungan antara logika formal dan logika
dialektik? kedua sistim berfikir tersebut tumbuh dan berhubungan di dua tahap
yang berbeda dalam perkembangan ilmu-pengetahuan berfikir. Logika formal
berkembang secara dialektik dalam evolusi sejarah logika, seperti yang biasa
terjadi dalam perkembangan intelektual seseorang. Kemudian logika dialektik
muncul sebagai kritik terhadap logika formal, menjatuhkan dan menggantikannya.
Logika dialektik menjadi lawan yang revolusioner, mengambil alih dan menjadi
solusi.
Dalam
pelajaran kedua ini, kita berharap bisa mengungkap keterbatasan logika formal,
dan mendapatkan bagaimana dialektika bangkit karena ujian kritis terhadap
ide-ide fundamentalnya. Saat ini kita telah memahami apa yang menjadi dasar
logika formal, dan apa yang dicerminkannya dari realita, mengapa menjadi
penting dan bermanfaat bagi proses berfikir, dan sekarang kita akan melangkah
lebih jauh lagi untuk melihat apa yang menjadi distorsi dalam logika formal serta
apa yang harus ditolak dari logika formal. Kita akan melihat sisi yang tak
bermanfaat dari logika formal.
Dalam
langkah selanjutnya dari investigasi kita, kita tak akan mendapatkan hasil
negatif yang bisa dijadikan alasan keraguan kita sehingga harus menolak seluruh
bagian dari logika formal. Sebaliknya, justru kita akan mendapatkan hasil yang
paling positif. Walaupun terdapat beberapa kekurangan dalam logika formal,
namun terdapat juga beberapa karakter penting yang bisa diambil dari logika
formal yang bisa menyempurnakan logika penggantinya, logika dialektik. Sehingga
dalam proses pembelahan logika elementer dan pemisahan unsur yang absyah dari
yang salah, kita bisa mendapatkan sebuah landasan bagi dialektika. Tindakan
kritis dan kreatif, negasi dan affirmasi, saling bergandengan sebagai dua sisi
dari proses yang sama.
Kedua
gerak penghancuran dan pembentukan dilahirkan tidak saja dalam evolusi logika
tapi juga dalam semua proses. Setiap lompatan ke depan, setiap tindakan kreatif
melibatkan penghancuran. Agar dapat lahir, seekor anak ayam harus memecahkan
kulit telor yang membungkusnya, yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber
kehidupan pada tahap tertentu. Sehingga, agar mendapatkan ruang bagi
kebebasannya dan melanjutkan perkembangan selanjutnya, ilmu berpikir harus
menghancurkan kulit pembungkus logika formal.
Logika
formal selalu mulai dengan preposisi: A adalah selalu sama dengan A. Kita
mengakui bahwa hukum tentang identitas ini mengadung beberapa kebenaran, yang
merupakan sebuah fungsi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengetahuan berfikir,
dan yang selanjutnya digunakan dalam peradaban mansuia di dalam kegiatan
sehari-harinya. Tapi sejauh mana kebenaran hukum tersebut? Apakah hukum
tersebut bisa terus menjadi penuntun dalam realitas yang menjadi lebih
kompleks? Demikian lah, pertanyaan selanjutnya.
Pembuktian
salah benarnya setiap preposisi diperoleh dengan melihat realitas objektif dan
praktek nyatanya, derajatnya dan isi konkrit yang terkandung dalam preposisi
tersebut. Apa kah isinya berhubungan dengan sebuah output yang bisa dihasilkan oleh realitas, sehingga preposisi itu
menjadi benar. Jika tidak, maka preposisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Sekarang
apa yang bisa kita dapat saat harus berhadapan dengan realitas, bukti apa yang
bisa membenarkan kebenaran preposisi: A sama denan A? Ternyata, tak ada sesuatu
pun dalam realita yang secara sempurna sama dengan isi preposisi tersebut.
Sebaliknya, kebalikan dari aksioma tersebut jauh lebih mendekati pada
kebenaran.
Bagaimanapun
kita berusaha membuktikan bahwa A sama daengan A—ternyata, kita tidak bisa
berhasil secara sempurna. Seperti kata Trotsky: “...meneliti dua huruf tersebut
di bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang lainnya sama sekali berbeda.
Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena hal-hal lain (misalnya) semata-mata
merupakan simbol bagi kuantitas-kuantitas yang sederajat, contohnya, satu pon
gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf tersebut.”
“Di
samping kecurigaan ekstrim pada nilai praktis. Hal tersebut juga menunjukan
ketidakkritisan teoritis. Bagaimana dengan momentum? Hal yang pertama tentu
berbeda momentumnya dengan hal yang kedua karena segalanya ada dalam kurun
waktu tertentu. Waktu adalah sebuah unsur yang paling fundamental bagi
keberadaan. Sehingga aksioma A sama dengan A akan berlaku jika tidak ada
perubahan, jika tidak, maka aksioma tersebut tidak akan berlaku”[2]
Itu lah
sebabnya beberapa pembela logika formal mencoba membela diri dengan berkata:
memang benar hukum identitas tidak bisa absolut, tapi itu tidak berarti kita
dapat menolak prinsip tersebut. Kebenaran tersebut adalah absyah walaupun tidak
berhubungan dengan realitas. Posisi mereka tidak bisa memahami kontradiksi;
justru, dengan demikian, semakin menunjukkan bahwa, dalam pandangan mereka,
hukum identitas tersebut hanya berlaku sejauh tidak berhubungan dengan
realitas, dan jika berhubungan dengan realitas maka hukum tersebut justru akan
mendatangkan kesalahan-kesalahan tertentu.
Seperti
yang di kemukakan oleh Trotsky: “Aksioma A sama dengan A menunjukkan suatu
titik keberangkatan menuju ke keseluruhan kebenaran pengetahuan kita namun, di
sisi yang lain, juga merupakan titik keberangkatan menuju ke keseluruhan
kesalahan pengetahuan kita.”[3] Bagaimana mungkin sesuatu
hal, yang ada dalam hukum yang sama, menjadi sumber bagi kedua
pengetahuan—pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar? Kontradiksi
tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa hukum identitas memiliki dua sisi
karakter: kesalahan dan kebenaran. Hukum identitas memiliki kebenaran pada
batas-batas tertentu. Batasan tersebut dikarenakan karakter esensialnya, yang
ditunjukkan oleh perkembangan aktual obyek pertanyaannya. Di sisi lain, dilihat
dari tujuan praktis cara pandang tertentu.
Sekali
waktu, batasan-batasan tersebut muncul, sehingga hukum identitas tidak lagi
tepat dan berbelok menjadi kesalahan. Semakin jauh kita maju tanpa pegangan
batasan tersebut, semakin jauh pula hukum identitas tersebut menyeret kita
membelok dari kebenaran. Hukum yang lain mungkin akan mengoreksi kesalahan yang
semakin banyak tersebut, namun tidak terlepas juga kemungkinannya akan masuk ke
persoalan yang lebih kompleks dan yang lebih baru lagi.
Mari
kita lihat contohnya. Dari Albany ke New York hanya disusuri oleh sungai
Hudson, tak ada yang lainnya. A selalu sama dengan A. Dengan keterbatasan
tersebut akan sulit untuk memastikan bahwa sungai Hudson tersebut merupakan
satu-satunya sumber air yang ada, dan sama dari hilir sampai muara, sungai Hudson.
Setelah sampai di muara pelabuhan New York, ternyata sungai Hudson telah
kehilangan identitasnya dan menyatu dengan Samudra Atlantik. Sedangkan air
Sungai Hudson, terpecah menjadi beberapa anak-anak sungai yang lain yang,
walaupun berasal dari mata air yang sama, tapi memiliki identitas yang
berbeda-beda dan materi yang berbeda pula, jauh berbeda dengan sungai Hudson
itu sendiri. Sehingga di kedua tempat tersebut—sumber mata air dan
muaranya—identitas Sungai Hudson menghilang, tak lagi seutuhnya sama.
Demikian
pula halnya dengan kemungkinan hilangnya identitas di sepanjang sungai Hudson
tersebut. Identitas sungai tersebut tergantung pada kedua sisi parit yang
menahan aliran airnya. Namun, jika sungai tersebut pasang atau surut, atau jika
terjadi erosi, maka parit tersebut akan berubah. Hujan dan banjir akan merubah
batasan-batasan sepanjang sungai itu secara permanen atau sementara. Walaupun
sungai tersebut tetap bernama Hudson, namun isinya tak akan pernah berupa air
yang sama. Setiap tetesnya sudah berbeda. Oleh karenanya, sungai Hudson
tersebut terus berubah identitasnya setiap saat.
Atau
coba kita lihat contoh Dolar yang di kemukakan Trotsky. Kita biasanya
mengasumsikan bahwa mata uang Dolar adalah mata uang Dolar itu sendiri. A sama
dengan A. Tapi kita mulai sadar sekarang bahwa Dolar sekarang berbeda nilainya
dengan dolar pada waktu yang lampau. Dolar tersebut semakin berkurang nilainya.
Pada tahun 1942 kemampuan dolar hanya tiga perempat kemampuan pada tahun 1929.
Sepertinya,
dolar tidak berubah dan hukum identitas masih bisa di gunakan, tapi, pada saat
yang sama, nilainya juga sudah berubah.
“Pemikiran
ilmiah kita hanya lah salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita,
termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep, eksistensi “toleransi” juga
diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang
berasal dari aksioma A adalah sama dengan A, tapi dengan logika dialektik yang
berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat”
dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi”
dialektik.”[4]
Dalam
bengkel kerja, toleransi diukur di setiap seperseratus sampai seperseribu
setiap incinya, tergantung hasil kerja yang hendak diperolehnya. Sama halnya
dengan kerja otak dan konsep-konsep peralatannya. Bila batas atau marjin
toleransi kesalahan sudah bisa disetujui, maka hukum logika formal dapat
berlaku. Tapi pada saat tidak diizinkan oleh toleransi, maka sebuah alat baru
harus dibuat untuk memenuhi batas toleransi yang diperbolehkan. Dalam lapangan
produksi intelektual, peralatan tersebut adalah logika dialektik.
Hukum
identitas bisa diterapkan dalam toleransi dialektik pada dua arah yang
bertentangan. Misalnya, toleransi minimum dan toleransi maximum, sehingga hukum
identitas tersebut akan berlangsung semakin absyah atau kurang absyah seperti
yang dicontohkan oleh deflasi. Satu Dolar nilainya berlipat, sehingga A tidak
sama dengan A, tapi lebih besar dari A. Dan dalam contoh inflasi maka, sekali
lagi, satu Dolar tidak sama dengan satu Dolar sebelumnya, menjadi setengahnya.
Sekali lagi A tidak sama dengn A, tapi setengah A. Dalam beberapa kasus, hukum
identitas tidak lagi menjadi benar tapi menjadi semakin salah, tergantung pada
jumlah dan karakter khusus perubahan nilai yang ada. Selain A = A, kita juga
melihat kemungkinan A = 2A atau 1/2A.
Perhatikan
bahwa kita mulai menguji hukum identitas: A adalah yang kita uji. Yang kita
dapatkan, kontradiksi: benar bahwa A = A; tapi benar juga A tidak sama dengan A
dan, tambahannya, A bisa menjadi 2A atau 1/2A.
Cara tersebut membuat kita lebih
mengenal A. A ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan, pasti, tidak
berubah seperti yang dianut oleh akhli logika formal. Mereka hanya melihat
penampakannya saja. Dalam kenyataanya, A sangat kompleks dan bisa kontradiktif.
Tidak hanya A tapi menyangkut semua hal. Kita tidak bisa menangkap A yang sama
karena setiap saat A tersebut berubah menjadi berkurang atau bertambah.
Kau
mungkin bertanya: kalau begitu, sebenarnya apa itu A? Jawaban dialektiknya
adalah A adalah A atau Non-A. Jika kau melihat A seperti akhli logika formal
maka kau hanya akan melihat satu sisinya saja, sisi negatifnya. A sama dengan A
adalah sebuah abstraksi yang tidak dapat secara penuh menjadi kenyataan atau
ditemukan dalam realitas. Abstraksi tersebut berguna sepanjang kau mengerti
batasan-batasannya, dan jika batasan telah tercapai maka segera kita akan
mengabaikan logika formal tersebut untuk mendapatkan kebenaran final. Hukum
dasar identitas bisa dipegang sebagai cara pandang dan untuk bertindak
sehari-hari, tapi hukum itu harus digantikan dengan hukum yang lebih dalam dan
kompleks.
Para
akhli mekanik akan bertanya: mengapa harus ada batas, apakah peralatan yang
dimiliki dalam mekanika telah mencakup kebenaran? Segala hal berlaku dalam
kondisi tertentu dan dalam operasi tertentu: sebuah potongan, lengkungan,
pendalaman dan lain sebagainya, semuanya ditempatkan pada setiap tahapan proses
produksi industri. Kelas buruh menentang batasan-batasan yang nyata dalam
setiap peralatan dan mesin. Mereka berhasil mengatasi batasan-batasan tersebut
dengan dua cara: menggunakan peralatan yang lain atau mengkombinasikan beberapa
peralatan dalam proses produksi.
Berpikir
secara esensial merupakan produksi intelektual, dan keterbatasan peralatan
berpikir akan menghasilkan cara yang sama. Pada saat kita mentok dengan logika formal maka kita harus menggunakan logika
lainnya, yakni logika dialektik, atau mengkombinasikan logika formal dengan
logika dialektik untuk mendapatkan kebenaran. Itu lah yang disebut dialektika.
Sama seperti peralatan-peralatan di pabrik yang harus dikombinasikan agar bisa
mengoperasikan pabrik tersebut. Jadi, kalau kita menginginkan hasil yang paling
tepat dalam produkis intelektual kita, maka kita harus mengembangkan ide-ide
dialektika itu sendiri.
Jika
kita kembali pada abstraksi awal, A sama dengan A, maka kita melihat bahwa ada
sebuah kontradiksi dalam perkembangannya. A adalah berbeda dengan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, A selalu berubah dan perubahan tersebut ke segala
arah. A selalu berkembang menjadi berlebih atau berkurang dari A sebelumnya.
Perubahan
tersebut memiliki nilai kwalitas tertentu, yang berbeda dari yang sebelumnya,
sehingga perlu juga membandingkan kwalitas awal dan kwalitas yang berikutnya
dari sesuatu hal yang terus berubah.
Sungai
Hudson yang kehilangan identitasnya, menjadi bagian dari samudara atlantik;
atau seperti yang terjadi pada mata uang. Mata uang yang semula koin yang
bernama mark Jerman telah menjadi kertas cetakan. Dalam bahasa aljabar, A
menjadi Minus A. Dalam bahasa dialektikanya perubahan kwantatif menghancurkan
kwantitas yang lama sehingga menjadi kwalitas yang baru. “Menentukan titik
kritis pada saat yang tepat, saat kwantitas berubah menjadi kwalitas, adalah
merupakan suatu tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua
bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.”
Salah
satu dari problem sentral ilmu logika adalah mengetahui dan memformulasikan
hukum tersebut. Kita harus mengerti bagaimana perubahan kwantitas akan
mendatangkan kwalitas baru dan sebaliknya.
Kita
tiba pada satu kesimpulan. Pada saat hukum identitas secara tepat mencerminkan
bentuk tertentu realitas, hukum itu juga mendatangkan distorsi kesalahan dalam
mencerminkan hal yang lainnya. Lebih jauh lagi, aspek yang salah tidak bisa
mencerminkan kenyataan objektif yang ada. Campuran setiap partikel fakta
jeneralisasi logika yang mendasar bisa memiliki sisi kesalahan yang serius.
Hasilnya, instrumen kebenaran menjadi kesalahan umum.
*

[3] Ibid,
hal. 49.
[4] Ibid,
hal. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar