Ketuhanan
Oleh : Misbahudin
P
|
ermasalahan ketuhanan memang akan selalu
menarik untuk dibahas dan dikaji. Para pengarang dan penulis sepertinya tak
pernah jemu dan berhenti untuk menuliskan berbagai sudut pandang dan pemikiran
tentang bagaimana manusia seharusnya memandang (memposisikan) dzat yang
menciptakannya (Tuhan). Sering kita dengar, sebagian orang kemudian rela dan
sepakat untuk berperang gara-gara mempertahankan keyakinannya terhadap Tuhan
(berebut Tuhan).
Imam Ali, saudara sepupunya nabi muhamad itu pernah mengungkapkan bahwa
awal dari keberagamaan adalah mengenal Tuhan (Allah);“awaluddin ma’rifatullah”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa
keberagamaan seseorang meniscayakan dia harus mengenal terlebih dahulu
pandangan tentang pokok ajaran yang menjadi dasar segala ibadah agamanya. Jika
tidak, mustahil ibadah dan keimanannya terhadap agama tersebut bisa diterima.
Dengan kata lain, ia harus mau mempelajari ilmu tentang masalah ketuhanan
tersebut.
Lalu adakah perspektif atau konsepsi yang paling kokoh dan benar
(obyektif) untuk mengenal Tuhan di antara sekian banyaknya agama di tengah umat
manusia ini? Teori atau pandangan mana yang bisa kita yakini mampu memberikan
petunjuk yang benar bagi kita untuk mengimani Tuhan?
Tauhid
Islam memberikan pandangan sebagaimana terdapat dalam Alquran yang
menegaskan bahwasanya manusia diperintahkan untuk bertauhid, menyembah hanya
kepada Tuhan yang Esa. Islam mengajarkan bahwa itulah kebenaran dan jalan yang
lurus yang manusia bisa selamat dengan mengikutinya.
Allah swt berfirman ; “Dan kami
tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku.” (QS. Alanbiyaa : 25).Di ayat yang lain Allah swt
berfirman: “Katakanlah : Dialah Allah
yang Maha Esa, Allahlah tempat
bergantungnya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada yang serupa dengan Dia.” (QS Al Ikhlas :1-4).
Dua ayat Alquran ini cukuplah
menggambarkan konsep ketuhanan dalam Islam yang disebut Tauhid, suatu paham
tentang kemahaesa-an dzat Tuhan.
Dalam Islam, setiap aktifitas apapun
berakhir (berujung) pada perkara tauhid. Salah satu contoh yang menarik
adalah kisah perang Jamal. Di mana datang seorang Arab Badui kepada Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib dan ingin bertanya (berdiskusi) tentang masalah
ketuhanan. Para sahabat lainnya memprotes dan menganggap pembicaraan
(diskusi) tentang masalah ketuhanan saat
perang seperti itu bukanlah pada tempatnya. Tetapi, Imam Ali kemudian
menjelaskan bahwa perang yang mereka
lakukan sebenarnya adalah karena perkara yang ditanyakan orang Badui tersebut,
karena itulah perang untuk sementara dihentikan.
Kisah ini sangat populer dalam buku-buku keislaman yang membahas
masalah tauhid. Hal ini menjadi semacam indikasi bahwa masalah tauhid itu sedemikian pentingnya dan menjadi akar
seluruh keimanan.
Orang yang beriman memang dianjurkan untuk mempunyai pengetahuan dan
memahami konsep yang kokoh dan benar tentang masalah tauhid ini. Seperti
perumpamaan yang diisyaratkan Allah swt dalam Alquran : “Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke
langit.” (QS Ibrahim : 24).
Alquran mengumpamakan keberimanan seseorang terhadap kalimah thoyyibah
(la illaha illallah) dengan Assyajarah Atthayyibah (pohon yang baik)
yang akan menghasilkan buah yang baik pula
sepanjang musimnya. Sementara ketidakyakinan/kemusyrikan digambarkan
sebagai pohon buruk yang akarnya tidak kokoh dan cabangnya
tidaklah dapat tegak.
Dzat, Sifat dan Perbuatan Tuhan
Para teolog atau kaum mutakalimin banyak membuat rumusan-rumusan mengenai dzat, sifat, dan
perbuatan Tuhan berdasarkan Alquran dan
Hadits. Sehingga, kalau membuka buku-buku mereka kita akan mengenal berbagai
istilah seperti tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, asma wa sifat dsb yang
masing-masing mereka terkadang berbeda konsepnya.Pada masa awal Islam itu, tak
jarang terjadi saling kafir-mengkafirkan di antara kaum mutakallimin. Bahkan
perseteruan ini sampai pada kondisi saling bunuh-membunuh karena perbedaan
pandangan dalam memahami Tauhid tersebut.
Dari konsep yang beragam terhadap bagaimana bertauhid dengan benar dan
memahaminya, kita umat Islam saat ini relatif mempunyai keleluasaan untuk
membandingkan dan mengkaji secara kritis rumusan-rumusan para ulama’ kalam
tersebut. Banyak dari pendapat sebagian mereka yang kemudian terbukti benar,
tapi tidak sedikit pula di antara pendapat sebagian mereka yang keliru.
Hal ini umpamanya berkenaan
pemberian sifat kepada Allah yang menjadikan Allah serupa dengan
makhlukNya. Seperti Allah mempunyai betis, jari-jari, muka, khaki, tangan dsb.
Hal ini misalnya dapat kita temukan dalam terjemah atau tafsir ayat-ayat yang
berhubungan dengan masalah Tauhid yang tentu saja harus di tolak.
Memang, pemberian sifat apa pun oleh manusia tidak akan pernah mampu
mendeskripsikan wujud Allah swt yang sesungguhnya, karena Dia maha suci dari
apa yang orang serupakan terhadapNya. Manusia yang berada dan terikat pada alam
material tentulah mustahil mensifati Tuhan yang terbebas dari pengaruh alam
material (ruang dan waktu). Tuhan yang maha suci tersebut tentulah tak mampu
didekati atau dijangkau oleh sesuatu yang rendah (alam materi). Ucapan berupa
takbir “Allahu Akbar” pun misalnya,
haruslah diyakini tak sepadan atau mampu menggambarkan kemahabesaran Allah swt.
Bagaimana Kita Memandang Tuhan?
Bagi para teolog Yahudi atau Nasrani,
banyaknya kekeliruan yang dibuat oleh sebagian ulama’ ahli kalam (mutakalimin)
dalam mentafsirkan wujud Tuhan seperti misalnya beberapa ayat yang terdapat
dalam Alquran, sering dijadikan sasaran tembak untuk menyerang akidah dan keyakinan umat Islam. Oleh karena itu sudah
sewajarnyalah mereka yang ingin memperbaiki keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah swt mencari pengetahuan dan konsep yang benar (haq) tentang Tauhid.
Allah swt berfirman : “Dia tidak
dapat dicapai dengan penglihatan, dan Dia dapat menyaksikan (semua) yang
terlihat; Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS Surat Al Anam : 103). Allah
swt hendaklah dipandang bukanlah sebagai suatu wujud fisik, karena dia tidak
menempati ruang dan waktu, tidak berpindah atau berada di suatu tempat
tertentu.
Bagaimana seharusnya muslim memandang
Allah swt, mungkin bisa tergambar dalam ucapan yang di sampaikan Imam Ali
kepada kaum muslimin berikut ketika menyerukan jihad melawan kaum munafiq :
“ Segala puji bagi Allah, satu-satunya
Tuhan yang dicari oleh semua makhluk, Zat Yang Unik yang tidak diciptakan dari
sesuatu pun yang tidak ada, atau Dia tidak menciptakan sesuatu dari sesuatu.
Melalui kekuasaanNya, Dia memanifestasikan DiriNya sendiri, dan melalui
kekuasaanNyalah sesuatu memanifestasikan dirinya sendiri.
Tak satupun dari sifatNya bisa sepenuhnya
dipahami. Dia tidak mempunyai ukuran apa pun di mana Dia bisa dibandingkan.
Lidah dalam bahasa mana pun terlalu kelu untuk menggambarkan sifat-sifatNya.
Pembicaraan yang bertele-tele mengenai sifatNya tidak mengarah kemana pun
selain kepada jalan nan buta. Akal-akal yang tajam terlalu bingung untuk
memahami kerajaanNya. Tabir-tabir misterius menghalangi pemahaman aras-aras
terendah dari pengetahuan yang tersembunyiNya, dan wawasan-wawasan paling
dalam sepenuhnya raib dalam pemahaman
yang kebanyakan (tampaknya) dangkal dari kelembutanNya.
Maha suci Allah yang tidak dijangkau oleh
kehendak-kehendak paling ambisius. Maha Mulia Dia yang bagiNya tidak ada
batasan waktu, atau tempo yang ditetapkan, atau pun deskripsi yang
ditentukan. ... ...................”
(lanjutannya masih sangat panjang)
Sungguh luar biasa penggambaran oleh Imam Ali tersebut tentang
bagaimana kita seharusnya memandang Tuhan.
Allah swt berfirman : “katakanlah,
kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh, habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat tsb,
meskipun kami datangkan lagi sebanyak itu.” (QS Maryam : 109)
Dari cara pandang Tauhid yang benarlah umat Islam kemudian
diharapkan mampu mengaktualisasikannya
dalam kehidupan nyata. Sehingga keyakinan agama nantinya akan menjadi kekuatan
yang membawa perubahan baik bagi individu, maupun bagi masyarakat. (MH,01/2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar