Sabtu, 19 Mei 2018


 

Ketuhanan

Oleh : Misbahudin




P
ermasalahan ketuhanan memang akan selalu menarik untuk dibahas dan dikaji. Para pengarang dan penulis sepertinya tak pernah jemu dan berhenti untuk menuliskan berbagai sudut pandang dan pemikiran tentang bagaimana manusia seharusnya memandang (memposisikan) dzat yang menciptakannya (Tuhan). Sering kita dengar, sebagian orang kemudian rela dan sepakat untuk berperang gara-gara mempertahankan keyakinannya terhadap Tuhan (berebut Tuhan).

Imam Ali, saudara sepupunya nabi muhamad itu pernah mengungkapkan bahwa awal dari keberagamaan adalah mengenal Tuhan (Allah);“awaluddin ma’rifatullah”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang meniscayakan dia harus mengenal terlebih dahulu pandangan tentang pokok ajaran yang menjadi dasar segala ibadah agamanya. Jika tidak, mustahil ibadah dan keimanannya terhadap agama tersebut bisa diterima. Dengan kata lain, ia harus mau mempelajari ilmu tentang masalah ketuhanan tersebut.

Lalu adakah perspektif atau konsepsi yang paling kokoh dan benar (obyektif) untuk mengenal Tuhan di antara sekian banyaknya agama di tengah umat manusia ini? Teori atau pandangan mana yang bisa kita yakini mampu memberikan petunjuk yang benar bagi kita untuk mengimani Tuhan?

Tauhid

Islam memberikan pandangan sebagaimana terdapat dalam Alquran yang menegaskan bahwasanya manusia diperintahkan untuk bertauhid, menyembah hanya kepada Tuhan yang Esa. Islam mengajarkan bahwa itulah kebenaran dan jalan yang lurus yang manusia bisa selamat dengan mengikutinya.

Allah swt berfirman ; “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Alanbiyaa : 25).Di ayat yang lain Allah swt berfirman: “Katakanlah : Dialah Allah yang Maha Esa, Allahlah tempat  bergantungnya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang serupa dengan Dia.” (QS Al Ikhlas :1-4).

Dua ayat Alquran ini cukuplah menggambarkan konsep ketuhanan dalam Islam yang disebut Tauhid, suatu paham tentang kemahaesa-an  dzat Tuhan. 

Dalam Islam, setiap aktifitas apapun  berakhir (berujung) pada perkara tauhid. Salah satu contoh yang menarik adalah kisah perang Jamal. Di mana datang seorang Arab Badui kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan ingin bertanya (berdiskusi) tentang masalah ketuhanan. Para sahabat lainnya memprotes dan menganggap pembicaraan (diskusi)  tentang masalah ketuhanan saat perang seperti itu bukanlah pada tempatnya. Tetapi, Imam Ali kemudian menjelaskan bahwa perang  yang mereka lakukan sebenarnya adalah karena perkara yang ditanyakan orang Badui tersebut, karena itulah perang untuk sementara dihentikan.

Kisah ini sangat populer dalam buku-buku keislaman yang membahas masalah tauhid. Hal ini menjadi semacam indikasi bahwa masalah tauhid  itu sedemikian pentingnya dan menjadi akar seluruh keimanan.
Orang yang beriman memang dianjurkan untuk mempunyai pengetahuan dan memahami konsep yang kokoh dan benar tentang masalah tauhid ini. Seperti perumpamaan yang diisyaratkan Allah swt dalam Alquran : “Tidakkah kamu  perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke  langit.” (QS  Ibrahim : 24).

Alquran mengumpamakan keberimanan seseorang terhadap kalimah thoyyibah (la illaha illallah) dengan Assyajarah Atthayyibah (pohon yang baik) yang akan menghasilkan buah yang baik pula  sepanjang musimnya. Sementara ketidakyakinan/kemusyrikan digambarkan sebagai pohon buruk               yang akarnya tidak kokoh dan cabangnya tidaklah dapat tegak.

Dzat, Sifat dan Perbuatan Tuhan

Para teolog atau kaum mutakalimin banyak membuat  rumusan-rumusan mengenai dzat, sifat, dan perbuatan  Tuhan berdasarkan Alquran dan Hadits. Sehingga, kalau membuka buku-buku mereka kita akan mengenal berbagai istilah seperti tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, asma wa sifat dsb yang masing-masing mereka terkadang berbeda konsepnya.Pada masa awal Islam itu, tak jarang terjadi saling kafir-mengkafirkan di antara kaum mutakallimin. Bahkan perseteruan ini sampai pada kondisi saling bunuh-membunuh karena perbedaan pandangan dalam memahami Tauhid tersebut. 

Dari konsep yang beragam terhadap bagaimana bertauhid dengan benar dan memahaminya, kita umat Islam saat ini relatif mempunyai keleluasaan untuk membandingkan dan mengkaji secara kritis rumusan-rumusan para ulama’ kalam tersebut. Banyak dari pendapat sebagian mereka yang kemudian terbukti benar, tapi tidak sedikit pula di antara pendapat sebagian mereka yang keliru.

Hal ini umpamanya berkenaan  pemberian sifat kepada Allah yang menjadikan Allah serupa dengan makhlukNya. Seperti Allah mempunyai betis, jari-jari, muka, khaki, tangan dsb. Hal ini misalnya dapat kita temukan dalam terjemah atau tafsir ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah Tauhid yang tentu saja harus di tolak.  

Memang, pemberian sifat apa pun oleh manusia tidak akan pernah mampu mendeskripsikan wujud Allah swt yang sesungguhnya, karena Dia maha suci dari apa yang orang serupakan terhadapNya. Manusia yang berada dan terikat pada alam material tentulah mustahil mensifati Tuhan yang terbebas dari pengaruh alam material (ruang dan waktu). Tuhan yang maha suci tersebut tentulah tak mampu didekati atau dijangkau oleh sesuatu yang rendah (alam materi). Ucapan berupa takbir “Allahu Akbar” pun misalnya, haruslah diyakini tak sepadan atau mampu menggambarkan kemahabesaran  Allah swt.

Bagaimana Kita Memandang Tuhan?

Bagi para teolog Yahudi atau Nasrani, banyaknya kekeliruan yang dibuat oleh sebagian ulama’ ahli kalam (mutakalimin) dalam mentafsirkan wujud Tuhan seperti misalnya beberapa ayat yang terdapat dalam Alquran, sering dijadikan sasaran tembak untuk menyerang akidah dan  keyakinan umat Islam. Oleh karena itu sudah sewajarnyalah mereka yang ingin memperbaiki keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt mencari pengetahuan dan konsep yang benar (haq) tentang Tauhid.
Allah swt berfirman : “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan, dan Dia dapat menyaksikan (semua) yang terlihat; Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS Surat Al Anam : 103). Allah swt hendaklah dipandang bukanlah sebagai suatu wujud fisik, karena dia tidak menempati ruang dan waktu, tidak berpindah atau berada di suatu tempat tertentu.

Bagaimana seharusnya muslim memandang Allah swt, mungkin bisa tergambar dalam ucapan yang di sampaikan Imam Ali kepada kaum muslimin berikut ketika menyerukan jihad melawan kaum munafiq :


“ Segala puji bagi Allah, satu-satunya Tuhan yang dicari oleh semua makhluk, Zat Yang Unik yang tidak diciptakan dari sesuatu pun yang tidak ada, atau Dia tidak menciptakan sesuatu dari sesuatu. Melalui kekuasaanNya, Dia memanifestasikan DiriNya sendiri, dan melalui kekuasaanNyalah sesuatu memanifestasikan dirinya sendiri.

Tak satupun dari sifatNya bisa sepenuhnya dipahami. Dia tidak mempunyai ukuran apa pun di mana Dia bisa dibandingkan. Lidah dalam bahasa mana pun terlalu kelu untuk menggambarkan sifat-sifatNya. Pembicaraan yang bertele-tele mengenai sifatNya tidak mengarah kemana pun selain kepada jalan nan buta. Akal-akal yang tajam terlalu bingung untuk memahami kerajaanNya. Tabir-tabir misterius menghalangi pemahaman aras-aras terendah dari pengetahuan yang tersembunyiNya, dan wawasan-wawasan paling dalam  sepenuhnya raib dalam pemahaman yang kebanyakan (tampaknya) dangkal dari kelembutanNya.

Maha suci Allah yang tidak dijangkau oleh kehendak-kehendak paling ambisius. Maha Mulia Dia yang bagiNya tidak ada batasan waktu, atau tempo yang ditetapkan, atau pun deskripsi yang ditentukan.  ... ...................
(lanjutannya masih sangat panjang)

Sungguh luar biasa penggambaran oleh Imam Ali tersebut tentang bagaimana kita seharusnya memandang Tuhan.  Allah swt berfirman : “katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh, habislah lautan itu sebelum habis ditulis kalimat  tsb,  meskipun kami datangkan lagi sebanyak itu.” (QS Maryam : 109)   

Dari cara pandang Tauhid yang benarlah umat Islam kemudian diharapkan  mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata. Sehingga keyakinan agama nantinya akan menjadi kekuatan yang membawa perubahan baik bagi individu, maupun bagi masyarakat. (MH,01/2004)

Wallahu a’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DEKONSTRUKSI TEOLOGI KEAGAMAAN   Oleh Muzakkir Djabir Wacana akan perlunya dekonstruksi atas teologi yang mapan saat ini, d...