Senin, 21 Mei 2018



DEKONSTRUKSI TEOLOGI KEAGAMAAN  
Oleh Muzakkir Djabir


Wacana akan perlunya dekonstruksi atas teologi yang mapan saat ini, dalam arus dialektika, oleh kaum intelektual maupun cendekiawan, baik dalam literatur klasik maupun kontemporer demikian marak diperbincangkan. Paling tidak, beberapa karya semisal pandangan-pandangan Mohammed Arkaoun (intelektual asal Aljazair) dan Mohammad Abed Al-Jabiri (filosof kelahiran Maroko), telah menggambarkan peta-peta dekonstruksi tersebut. Intensitas polemik tersebut akan melahirkan suatu sikap bernada gugatan terhadap kemapanan konsepsi  maupun realitas masyarakat yang stagnan.
Begitupun juga, Muhammad Iqbal (bapak ruhani Pakistan)  menyerukan pandangan agar ummat Islam, yang banyak terjebak  dan ikut arus ‘parsial approach’  dalam menganalisis maupun menggagas anatomi masyarakat muslim, mereka terjebak dengan janji-janji utopis dari teori-teori sosial Barat yang absurd, dengan harapan diklaim sebagai kaum modernis, agar bersikap kritis.
Mengikut pada Iqbal, Ali Syari’ati (ideolog proggresif asal Iran), dalam banyak karya-karya monumentalnya yang orisinil, menyerukan sikap kemandirian dan sikap kehati-hatian bagi ummat Islam untuk meniru Barat. Syari’ati menganjurkan pengenalan karakteristik anatomi masyarakat muslim secara paripurna, agar dapat kembali membangun kepribadian dan identitas masyarakat muslim, yang dengan upaya maksimal berupaya dikubur oleh kolonialis Barat, agar masyarakat muslim menjadi komunitas yang tidak percaya diri terhadap geneunitas peradaban Islam.
Olehnya, dibutuhkan perspektif yang holistik untuk membangun pranata sosial yang humanis, proggresif, dan egaliter dalam bingkai transendental. Karenanya, amat signifikan, suatu pesan yang dapat dipetik dari Iqbal maupun Syari’ati, yakni hendaknya para intelektual Muslim sebagai arsitek perubahan  sosial mampu mengenali dan menyelami problema subtansial yang dialami oleh masyarakat muslim, sebelum menawarkan atau menggagas solusi atas marginalisasi ummat Islam.
Realitas ummat Islam pada konteks global, adalah realitas yang terpinggirkan pada  seluruh bidang kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, lebih-lebih ilmu pengetahuan. Umat Islam berada dalam jepitan ketiak “ hegemoni “ barat dengan segala keserakahannya walaupun dibingkai atas nama kemanusiaan dan modernitas.
Sehingga menjadi wajarlah  kemudian manakala muncul pertanyaan mendasar bagi masyarakat muslim ,khususnya kelompok yang setiap harinya “ bersetubuh “ dengan wacana futuristik;  sebenarnya, problema apakah yang urgen dan signifikan diidap oleh masyarakat muslim sehingga takluk atas hegemoni Barat. Kelemahan dalam menelusuri serta menganalisis problema fundamental umat Islam, hanya akan menambah panjang daftar teori solutif yang artifisial.
Suatu fenomena yang memprihatinkan sekaligus menyedihkan melihat realitas masyarakat muslim dengan kemayoritasannya didunia ini , seakan menjadi anak tiri zaman. Hal mana ummat Islam berada pada pojok-pojok teritorial yang kusut dan kumuh, seakan Islam apriori  dan tabu dengan kemajuan dan modernitas. Dan celakanya, seakan dunia dan prosesi zaman yang melingkupinya taklid sepenuhnya akan ketentuan-ketentuan keberaturan Sang Khalik. Padahal  ummat Islamlah sendirilah, baik secara sadar maupun tidak sadar membuang dirinya diruang-ruang tradisi paham  skriptualis ( baca : tektualis-stagnan ) serta anti pembaruan.
Padahal, panggung sejarah peradaban dunia, telah mencatat dengan tinta emas masa superioritas peradaban Islam, hal mana dunia Barat pun mengakuinya akan kontribusi intelektual Islam atas antarannya menuju renaisans. Bukankah Islam datang ke daratan Eropa dalam rangka membebaskan Barat dari kegelapan ?  Islam demikian kaya dengan potensi, kaya akan orisionalitas dan geneunitas pemikiran serta sejarah yang heroik, dan sangat untuk patut dibanggakan.
Namun demikian., idealisasi sejarah yang berlebihan , apatah lagi jatuh pada romantisisme sejarah, dan kemudian tidak muncul sikap kritis, hanya akan melahirkan pemikiran yang jumud dan membentuk masyarakat yang mati dan stagnan. Oleh karenanya, kritik sejarah, jihad intelektual dalam bentuk merespon pembaruan pemikiran Islam, merupakan keharusan. Sebab, sikap demikian, paling tidak akan melahirkan dan membangun power serta semangat baru untuk keluar dari kejumudan dan stagnasi, dalam rangka menata dan menformulasi tatanan sosial yang ideal, dan akan menjadi ‘kompas’ bagi pengokohan fondasi renaisans Islam.
Judul tulisan diatas, tentunya akan melahirkan polemik bagi kaum intelektual-kontekstual versus intelektual tekstualis ( skriptualis- normatif ), tetapi paling tidak lemparan wacana ini akan mengundang para intelektual Muslim yang peduli masa depan Islam  untuk urung rembuk dalam prosesi dialektika. Sebab, dialektika merupakan karakteristik fitrawi makhluk, hatta itu dialektika dengan Tuhannya, semesta dan seluruh entitas-entitas di dalamnya. Hanya dengan maksimalisasi diskursuslah, antara seluruh elemen-elemen masyarakat, kearifan akan datang bertandang dan “memeluk diri” kita, yaitu kearifan dalam keberaneka-ragaman (pluralisme).
Pun dalam konteks ke-Indonesia-an, dimana penduduknya mayoritas muslim, juga mengalami nasib yang sama dengan masyarakat muslim dibelahan dunia lainnya. Rejimentasi pemerintahan orde baru yang telah memberanggus semangat pluralitas, penguburan karakter kultural dan identitas masyarakat lainnya, dibingkai dengan azas-azas nasionalisme buta serta uniformitas “kejawen”.
Masyarakat indonesia menjadi komunitas ‘reptil’ (yang responnya kalau menemukan hal baru segera lari dan beruzlah, dan kalau terdesak akan menggigit)   dan stagnan. Karenanya, benarlah hujjah Syari’ati; gamang tak tahu harus berbuat apa, dan memulai dari mana  agar dapat lepas dari belenggu kaum establish despotis,  yang serakah mengeksploitasi kaum mustadhaiifin dan diperparah lagi dengan legalitas “ ulama penjilat “ , sehingga muatan norma keagamaan kadang menjadi “ Narkoba “.
Passifnya pemikiran Islam, yang pada akhirnya melahirkan marginalisasi umat Islam, dalam ulasan literatur klasik maupun kontemporer, diidentifikasi disebabkan oleh kelemahan muatan “ TEOLOGI “ yang dianut dan dipahami oleh mayoritas umat Islam dibelahan dunia ini. Teologi memegang peranan signifikan dalam membangun dan menata masa depan Islam. Kejayaan peradaban Islam masa lalu ternyata di back-up dengan teologi yang holistik dan proggresifnya muatan-muatan teologi masyarakat muslim.
Pun dalam sejarah, juga secara obyektif mengambarkan hal demikian. Sejak pasca kepemimpinan Rasulullah SAW, ummat Islam menampilkan sejarah buram dan hitam yang mencoreng “ sakralitas dan kesucian “ dienul Islam. Dan selanjutnya, akibat konflik internal sesama umat Islam  yang berdimensi “politis” ( bukan politis an-sich),   melahirkan dua kutub besar dalam komunitas masyarakat Islam, yaitu kutub Syiah dan kutub Sunni, yang kemudian dalam aksentuasi pada segala bidang memiliki beberapa perbedaan, khususnya pada masalah furuiyah dan juga pada aspek  teologi.
 
ASY`ARIYAH VERSUS MU`TAZILAH
 Sejarah pemikiran Islam klasik bahkan kontemporer, senantiasa menampilkan kedua teologi ini pada posisi berhadap-hadapan, sebab muatan antara kedua teologi ini memang sangat paradoks. Teologi Asy`ariyah merupakan teologi yang dianut oleh Islam Mazhab Sunni yang merupakan teologi mayoritas didunia Islam. Teologi ini cenderung normatif, tekstual bahkan menafikan peran akal. Paham Asy`ariyah dalam prosesnya kemudian menjadi paham “ Jabariah “, suatu paham “ penegasian diri” dan jatuh kepada kepasrahan total terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, yang oleh paham ini dikatakan bahwa manusia tidak memiliki potensi “ kehendak bebas “ untuk menata dan memformulasi masa depannya sendiri. Paham ini jatuh pada asketisme buta.
Lain halnya dengan teologi Mu`tazilah (rasional), yang diwarisi oleh mazhab Syiah minoritas, yang mengedepankan watak proggresif akal untuk aksentuasi kehidupan manusia bahkan memformulasi “ takdir manusia “. Teologi Mu`tazilah berpandangan bahwa manusia telah diberikan potensi kehendak bebas ( free will ) untuk menentukan takdir hidupnya.
Pokok permasalahan  krusial yang sulit mempertemukan pandangan kedua teologi ini, yaitu berkenaan dengan penjelasan sekaligus peranan akal. Padahal dalam banyak nash-nash didalam Al Qur`an, hadits dan rujukan-rujukan normatif keagamaan, menjelaskan urgensinya akal sebagai alat pentazkih. Misalnya;  QS. Fush-shilat:53 yang artinya “ Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di alam raya ini (Afag) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka  bahwa sesungguhnya  Dia itu benar (haq)”, atau QS. Al- An`am:75-79, QS. Ali Imran:190, QS.Yunus: 6, QS. An-Nahl:3-17, QS.An-Nahl:68-69, dan masih banyak ayat lagi yang mengabsahkan urgensinya akal sebagai sumber hukum, selain Al Qur`an, As-sunnah, Ijma sebagaimana dipahami oleh Mutakallimin Syiah.
Sehingga tidak logis jika akal dinafikan, logika dan filsafat diharamkan. Sebab, eksistensi Ilahiah hanya mampu dipahami serta dibuktikan dengan maksimalisasi akal. Penafian akal oleh teologi Asy`ariyah, melahirkan stagnasi dan kejumudan berfikir, apalagi setelah Imam Al Ghazali memproklamirkan penutupan pintu Ijtihad. Syah wali allah dahlawi dalam sebuah risalah yang berjudul al-inshaf fi bayan sabab al-ikhtilaf, menyambut gembira tertutupnya pintu ijtihad bebas, bahkan syah wali mengatakan “ Inilah suatu rahasia  yang telah diilhamkan oleh Allah SWT kepada para ulama untuk menyelamatkan dan melindungi Islam dari perpecahan”. Untunglah kemudian Allamah Syaikh Mahmud Syaltut, mufti dan rektor Universitas Al Azhar, menyerukan bahwa pintu Ijtihad telah terbuka, dan menyerukan untuk mengikuti mazhab apa saja asalkan didukung oleh alasan-alasan orisional.
Perbedaan pandangan teologi Sunni tentang peranan akal tercermin dalam bidang Aqa`id (akidah) dan kalam (teologi skolastik), sebagaimana dikemukakan oleh mazhab Asy`ari yang mencampakkan akal, serta mengklaim bahwa akal tidak mampu menetapkan hukum-hukum dalam bidang aqa`id. Kewajiban mengenal Allah bukanlah hukum syari`ah melainkan hukum yang didasarkan pada akal (pandangan mayoritas ulama), sebab hukum-hukum syari`ah tidak memiliki kekuatan motivasi dan pengaruh dalam kehidupan manusia kecuali, bila manusia mengenal Tuhannya dan syari`yah-Nya. Mestinya berbeda sifatnya vis-à-vis hukum-hukum syari`ah, yakni ia haruslah tergolong jenis akal yang didasarkan pada akal. Asy`ari menentangnya dan mencampakkan akal untuk menetapkan hukum dalam kapasitas apapun.
Tindakan penolakan akal meluas ke bidang etika yang merupakan bagian dari ilmu kalam (teologi skolastik). Mazhab pemikiran Asy`ari mengingkari bahwa akal mampu membedakan berbagai tindakan yang baik dan buruk, bahkan sampai yang paling jelas dan gamblang. Jadi akal tidak bisa membedakan antara kezaliman dan keadilan, tetapi yang pertama jadi jahat dan kedua baik semata-mata karena al bayan al syar`iy, meskipun sekiranya al bayan al syar`iy memandang kezaliman itu baik dan keadilan itu jahat, maka akal tidak berhak mengemukakan keberatan.
Meskipun telah dikatakan bahwa mahzab Syi’ah adalah mahzab yang sangat menghargai kedudukan akal, tetapi tetap saja ada aliran yang mengharamkan akal –meskipun pengaruhnya saat ini telah ditenggelamkan oleh ulama ushuli -- yaitu segolongan ulama yang bernama al –Akhbariyin wa al Muhadditsin (ahli-ahli Hadits). Mereka menentang peranan akal dalam berbagai bidang dan hanya puas dengan al-Bayan al syar`iy, karena menurutnya, akal bisa saja salah dan sejarah pemikiran intelektual penuh dengan berbagai kesalahan. Kaum Akhbari ini pula melancarkan serangan dan kritikan keras atas ijtihad, tetapi muatan-muatan pemikiran kaum akhbari ini menyimpan ambiguitas,  sebab disatu pihak , kaum akhbari mengutuk akal untuk menjelaskan jalan bagi al Bayan al-Syar`iy guna menetapkan hukum dan mengajarkan fiqh, tetapi dilain pihak masih saja tetap mengandalkan akal untuk membuktikan validitas ajaran agamanya.
Teologi Asy`ariyah dengan paham Jabariahnya serta sikap pasif totalnya kepada  takdir Allah SWT, yang mengabaikan potensi kebebasan memilih manusia, membawa ekses negatif bagi masyarakat. Sebab akan melumpuhkan  kreatifitas kejiwaan serta  menggiring manusia teralienasi pada diri dan masyarakatnya. Demikian juga sikap paternalistik masyarakat muslim , adalah bias dari internalisasi  teologi  Asy`ariyah yang pasif atau stagnan, ditambah dengan kolonialisme Barat di segala bidang, telah berhasil membunuh identitas masyarakat muslim di seluruh dunia, yang kemudian melahirkan sikap pesimis dan kurang percaya diri umat Islam terhadap komunitas lainnya.
Hal itu semakin memberatkan bagi para ideolog maupun arsitek perubahan sosialr Islam dalam membangun tata dunia Islam yang beradab dan egaliter. Dibutuhkan upaya maksimal untuk melakukan re-thinking atau dekonstruksi terhadap muatan-muatan normatif keagamaan ummat Islam, tanpa takut diklaim macam-macam oleh kelompok Islam tertentu. Terbukti dalam sejarah bahwa teologi Asy`ariyah yang asketis telah melahirkan masyarakat paternalistik, pasif dan taqlid buta, sehingga tidak mampu melahirkan improvisasi dan dinamisasi dalam masyarakatnya. Karenanya, dibutuhkan suatu “ TEOLOGI ALTERNATIF” yang mengkompilasi watak dan karakter yang bersifat dinamis, kreatif, proggresif serta kritis. Hanya dengan muatan teologi seperti itulah akan mampu menyentak kesadaran nurani manusia yang paling sublim.
Pun pada konteks ke-Indonesia-an, proyeksi atau inisiasi Indonesia Baru demikian marak diperbincangkan. Cak Nur, intelektual kaliber internasional dengan skenario 2025-nya ataupun skenario building-nya Lemhanas 2010, hanya akan menjadi isapan jempol utopis, jika gagasan mereka tidak menyentuh problema fundamental masyarakat Indonesia atau dunia Islam.  Yakni stagnannya teologi, atau sekali lagi pasifnya teologi

Sabtu, 19 Mei 2018

KARL MARX

POLITIK DAN PARA PENIPU AGAMA

 

       Barang siapa dikutuk Tuhan, Ia mengubahnya menjadi filsuf Bishop Klauss mengutip kata-kata tersebut, ketika Karl Marx , bapak Manifesto Ideologi Komunis itu mnyudutkannya di depan khalayak dengan argumentasi yang begitu indah. Bagi Marx agama kristen yang tidak memiliki jiwa revolusioner untuk membawa jamaahnya kepada kebebasan dan keadilan adalah candu. Ia menunjukan bagaimana kaum agamawan dan para moralitas mendukung dengan mengabaikan prosesi perbudakan atas nama negara dan agama. Disudutkan demikian Klauss melemparkan kutukan yang tidak ada dalam kitab suci. Lalu Marx membalasnya dengan thesisnya dalam Theses 11 on Feurbach :
“Para Filusuf hanyalah merenungi dunia, yang terpenting adalah bagaimana merubahnya”

Bagi Marx filsafat yang dibasiskan kepada moralitas dan agama tidak akan memiliki nilai nyata apabila ia tidak dapat diterapakan dalam formasi kehidupan praksis. Untuk itulah ia menyusun sistem filsafat materialisme-historisnya agar dapat diterapkan melalui revolusi dengan cara mengubah peta politik yang amoral. Marx mengutuk balik Bhisop Klauss yang dianggapanya sebagai filosof dan moralis palsu, baginya dengan diamnya kelompok yang tercerahkan dan mengaku intelektual terhadap kesewenang-wenangan adalah pengkhianatan terhadap agama. Dalam Die Heliege Familie (Keluarga Kudus) Marx menunjukan argumentasi agama Kristen yang diplintir orang-orang seperti Klauss untuk kepentingan politisnya. Untuk itu adalah keliru yang menyodongkan ajarannya sebagai ajaran atheis, Marx sendiri seorang Kristen yang taat.

Menjadi pertanyaan penting dalam ranah sosiologis, apakah agama dapat menjadi motivasi pergerakan sosial dan perubahan struktural. Jawbannya tidak untuk agama yang difahami pada masa pertengahan atau dipraktikan pada zaman revolusi industri di Eropa. Tapi Marx, tidak dapat pula menggeneralisir setiap agama adalah candu, agama memiliki jiwa revolusionernya di tangan orang-orang yang memahaminya sebagai basis nilai perbuatan, Islam adalah salah satu di antaranya

Agama adalah acuan nilai tindakan manusia, setiap tindakan yang melalui pemikiran akan bernilai baik kepada diri, alam, maupun tanggungjawabnya secara transedental kepada dzat yang menciptakannya. Jika agama adalah sumber pandangan etika, hukum, dan perbuatan, maka tidak ada alasan bagi agama untuk melarang dan menjadi penghambat orang kepada kewajiban untuk mempertahankan apa yang telah menjadi hak miliknya.

Ketika telah agama memiliki jiwa revolusioner di tangan pengamalnya, maka agama adalah bagian dari nilai-nilai yang mengarahkan orang untuk bersikap adil dalam menjalankan kehidupan. Termasuk diantaranya adalah agama akan menjadi basis nilai-nilai politik. Untuk itulah mengapa agama meniscayakan politik dalam implementasi hukumnya, nilai agama yang penuh cinta dan kedamaian harus menggantikan politik kekerasan dan pembodohan.
Oleh karenanya adalah naif ketika para intelektual dan kaum yang menyakini nilai kebenaran agama menganggap berpolitik hanyalah wilayah dan urusan orang yang tidak bermoral. Disebabkan karena dipegang orang yang tidak memiliki kualitas dan kredibilitas moral-intelektual itulah mengapa kepemimpinan moral dan intelektual harus diambil dari tangan orang-orang yang hanya membawa sistem untuk keuntungan personal dan praktik amoral serta kepentingan material. Politik tidak boleh dikuasai oleh orang-orang feodal yang menjadikan negara, kedudukan, dan alumnus sebagai tuhan, sehingga harus disembah.

Untuk itulah kepemimpinan moral dan intelektual harus diambil alih oleh oarng-orang yang sudah semestinya. Menjadi tugas dari orang-orang yang mempelajari ilmu dan menyadari kebesaran nilai agama untuk tidak tinggal diam menyaksikan kerusakan sosial di tangan orang-orang tak bermoral para penipu agama, sebagaimana thesis Plato bahwa politik hanyalah boleh dipegang oleh para moralis dan intelektual saja. Untuk itulah mengapa ajaran agama begitu indahnya menyatukan ajaran dunia dan akhirat.


Surat Edaran Marx dan Engels

Tesis Tentang Feuerbach

Karl Marx (1845)




Ditulis oleh Marx dalam musim semi 1845.
Mula-mula diterbitkan oleh Engels dalam 1888 sebagai Lampiran pada edisi yang tersendiri dari karyanya Ludwig Feuerbach.
Dicetak menurut naskah edisi tersendiri pada tahun 1888 dan diperiksa dengan manuskrip Karl Marx.


1

Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang-termasuk materialisme Feuerbach-ialah bahwa hal ihwal (Gegenstand), kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda (Objekt) atau renungan (Anschauung), tetapi tidak sebagai aktivitet pancaindera manusia, praktek, tidak secara subyektif. Karena itu terjadilah bahwa segi aktif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme-tetapi hanya secara abstrak, karena, sudah barang tentu, idealisme tidak tahu akan aktivitet pancaindera yang nyata sebagai hal yang sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepancainderaan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi dia tidak mengartikan aktivitet manusia itu sendiri sebagai aktivitet obyektif (gegenständliche). Oleh karena itu, dalam Hakekat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritis sebagai Satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedang praktek digambarkan dan ditetapkan hanya dalam bentuk permunculannya yang keyahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitet "revolusioner", aktivitet "kritis-praktis".

2

Soal apakah kebenaran obyektif (gegenständliche) bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya, kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek merupakan soal skolastik semata-mata.

3

Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan lain,dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai pada membagi masyarakat menjadi dua bagian, satu di antaranya adalah lebih unggul daripada masyarakat (pada Robert Owen, misalnya).
Terjadinja secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitet manusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasionil hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan.

4

Feuerbach bertolak dari kenyataan pengasingan-diri secara keagamaan, dari pendobelan dunia menjadi dunia khayali yang bersifat keagamaan dan dunia nyata. Pekerjaannya berupa melebur dunia keagamaan ke dalam dasar duniawinya. Dia mengabaikan kenyataan bahwa sesudah menyelesaikan pekerjaan itu, hal yang utama masih tetap harus dilakukan. Karena kenyataan bahwa dasar duniawi itu melepaskan diri dari dirinya dan menegakkan diri di awang-awang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri sesungguhnya hanyalah dapat diterangkan dengan pembelahan-diri dan sifat pertentangan dengan diri sendiri dari dasar duniawi itu. Karena itu yang tersebut belakangan itu sendiri lebih dulu harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian, dengan ditiadakannya kontradiksi itu, direvolusionerkan dalam praktek. Dengan begitu, misalnya, sekali keluarga duniawi itu ditemukan sebagai rahasia dari keluarga suci, maka yang tersebut duluan itu sendiri harus dikritik dalam teori serta direvolusionerkan dalam praktek.

5

Feuerbach tidak puas dengan pemikiran abstrak, berpaling kepada kontemplasi kepancainderaan; tetapi dia tidak menganggap kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, aktivitet pancaindera-manusia.

6

Feuerbach melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu. Dalam kenyataannya ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.
Oleh karenanya, Feuerbach, yang tidak memasuki kritik terhadap hakekat yang nyata itu, terpaksa:
  1. Mengabstraksi dari proses sejarah dan menetapkan sentiment keagamaan (Gemüt) sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan mengandaikan.perorangan manusia yang abstrak-yang terisolasi.
  2. Karena itu, baginya hakekat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai "jenis", sebagai suatu keumuman intern yang bisu yang hanya dengan wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.

7

Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa "sentimen keagamaan" itu sendiri adalah hasil sosial, dan, bahwa perorangan yang abstrak yang dianalisanya nyatanya termasuk bentuk khusus dari masyarakat.

8

Kehidupan sosial pada hakekatnya adalah praktis. Segala keghaiban yang secara menyesatkan membawa, teori kepada mistik menemukan pemecahannya yang rasionil dalam praktek manusia dan dalam pemahaman praktek itu.

9

Titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif, yaitu, materialisme yang tidak memahami kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, adalah renungan satu-satu individu dalam "masyarakat sipil".

10

Pendirian materialisme lama ialah masyarakat "sipil"; pendirian materialisme baru ialah masyarakat manusia, atau umat manusia yang bermasyarakat.

11

Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya



Marxisme Sebagai Ilmu

Marxisme: Ilmu Dan Amalnja, Harian Rakjat 1962
Kuliah di depan Universitas Rakjat, Jakarta, 19 Desember 1958

Paparan ini tidak mempunyai pamrih untuk membentangkan marxisme dan sifat ilmiah marxisme secara luas, apalagi secara lengkap. Hal ini juga tidak mungkin, karena untuk ini marxisme itu terlalu luas, sedang ruang kita terlalu sempit; juga pengetahuan saya tentang marxisme masih terbatas.
Jadi, paparan ini bersifat hanya dan semata-mata sebagai introduksi, sebagai pengantar.
Baiklah saya mulai dengan suatu salah paham.
Masih saja ada orang yang mengira bahwa marxisme itu hanyalah suatu ajaran politik.
Kurang lebih 20 tahun yang lalu, jadi sebelum Perang Dunia II, sebuah majalah katolik berbahasa Perancis, Archives de Philosophie,1) menulis tentang marxisme sebagai berikut:
"Suatu pandangan yang sempit akan memberikan suatu tinjauan yang palsu dan sesat. Marxisme bukanlah suatu cara dan rancangan pemerintahan saja, juga bukan suatu pemecahan teknis untuk masalah perekonomian, bukan pula suatu pendirian yang bolak-balik atau suatu semboyan dalam suatu pidato yang mengharukan. Ia menyebutkan dirinya suatu tafsiran yang luas tentang manusia dan sejarah, tentang makhluk dan masyarakat, tentang alam dan Tuhan; suatu sintesis umum, menurut teori dan praktek, pendek kata, suatu sistem yang menyeluruh."
Demikianlah, pengakuan majalah katolik tersebut bahwa marxisme adalah "suatu sistem yang menyeluruh," hakikatnya sama benar dengan yang dikatakan Lenin bahwa itu "komplit dan harmonis."2)
Mengapa Lenin mengatakan bahwa marxisme itu "komplet dan harmonis"? Karena marxisme "memberi jawaban pada masalah-masalah yang sudah diajukan oleh ahli-ahli pikir manusia yang terkemuka."3)
Seperti kita semua tahu, ahli-ahli pikir umat manusia sudah sejak beribu-ribu tahun yang lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental, bersifat pokok sekali. Misalnya, salah satu di antara pertanyaan-pertanyaan mereka itu ialah, "Apakah keadilan itu?" Marxisme menjawab pertanyaan ini dengan merumuskan bahwa keadilan ialah suatu keadaan di mana penghisapan atas manusia oleh manusia tiada lagi. Dan jawaban marxisme tidak berhenti pada perumusan teori ini. Marxisme juga menunjukkan jalan bagaimana mencapai keadilan itu. Yaitu: melalui revolusi sosialis mendirikan masyarakat yang tidak berkelas. Marxisme juga tidak berhenti di sini. Marxisme, melalui revolusi Rusia tahun 1917, menyelenggarakan keadilan itu di dalam praktek yang senyatanya.
Pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya seperti misalnya, "Apakah kemerdekaan itu?", "Apakah kebenaran itu?", "Apakah tujuan hidup yang semulia-mulianya?", dsb., juga dijawab secara yang sama, yaitu: dibeberkan hakikatnya, ditunjukkan jalan mencapainya, dan diselenggarakan di dalam praktek.
Hal ini, jika ditinjau dari lahirnya karya Marx dan Engels Manifes Partai Komunis,4) sudah berlangsung 110 tahun, sedang jika ditinjau dari lahirnya negara sosialis yang pertama, yaitu Republik Soviet, sudah berlangsung 41 tahun.
Ensiklopedia Indonesia yang diterbitkan di bawah pimpinan redaksi Prof. Dr. Mr. T.S.T. Mulia sampai menerangkan begini:
"Di masa sekarang Marxisme adalah teori yang penting sekali artinya: kurang lebih sepertiga dari dunia kita sekarang merupakan masyarakat yang berdasarkan ideologi marxisme… selain dari itu sebagian besar dari gerakan-gerakan kaum buruh di Eropa dan Asia berupa partai-partai politik dan serikat sekerja yang berpegang pada ajaran-ajaran marxisme."5)
Kita, yang sudah menjadi biasa oleh keadaan di mana sudah ada 33 juta orang marxis di dunia dan di mana sosialisme sudah tegak dari tepi sungai Elbe di Jerman sampai ke tepi sungai Jalu di Korea, kita terkadang sudah tidak memikirkan lagi bagaimana semua ini bisa terjadi. Tetapi kalau orang memikirkan bagaimana semua ini bisa terjadi, orang pun biasanya tidak bisa membebaskan diri dari rasa heran. Orang komunis, yang tadinya hanya dua-yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels-sekarang sudah menjadi 33 juta, dan sosialisme yang tadinya tidak ada sama sekali, sekarang sudah tegak dari Elbe sampai ke Jalu! Lagi pula, sosialisme itu sudah mencapai hasil-hasil yang demikian majunya, sehingga mendapatkan pengakuan di mana-mana. Seperti diakui oleh Menteri Muh. Jamin, balet yang terbaik di dunia adalah balet Soviet. Dari Olimpiade di Melbourne, Soviet ke luar sebagai pemenang pertama. Juara catur sedunia, kali ini Smislov, kali lain Botwinnik, kedua-duanya orang Soviet. Ketika baru-baru ini sebuah juri internasional memilih film yang terbaik sepanjang jaman, pilihan jatuh pada film "Pacomkin," film karya sutradara Soviet Eisenstein. Di lapangan pendidikan, seperti diakui oleh Allan Dulles, Soviet menghasilkan setiap tahunnya empat kali lebih banyak insinyur daripada Amerika Serikat. Di lapangan militer, yang menemukan bom hidrogen pertama dan peluru balistik antar-benua pertama adalah Soviet. Di lapangan ilmu, satelit buatan yang pertama kali berhasil adalah sputnik-sputnik Soviet. Sekarang produksi pertanian, terutama padi-padian, yang tertinggi di seluruh dunia dilahirkan oleh sawah Tiongkok.
Semua ini tentu membuat orang berpikir, sekalipun seseorang tidak suka pada marxisme. Mungkinkah semua ini terjadi seandainya marxisme itu bukan suatu ilmu?
Di dalam kehidupan ilmiah, teori itu selalu menempati kedudukan yang sangat penting. Tetapi jika sesuatu teori tidak teruji oleh praktek, apalagi jika sesuatu teori itu bertentangan dengan praktek, apalah harga teori semacam itu. Tentang hal ini Prof. Tjan Tju-som mengatakan di dalam Kuliah Umum-nya dua pekan yang lalu:
"Akal saja belum cukup untuk mewujudkan ilmu pengetahuan. Seharusnya akal itu bersandar kepada fakta-fakta, yakni kepada kenyataan-kenyataan yang ada di luar kita-baik yang bersifat kebendaan maupun kejadian-kejadian-yang semuanya tidak bergantung dari cita-cita kita saja dan yang kenyataannya dapat disaksikan dan dibuktikan juga oleh orang-orang lain. Fakta-fakta inilah yang harus menentukan apakah cara kerja akal kita betul atau salah, yang harus membuktikan bahwa akal kita tidak hanya bekerja dengan sembarang saja."6)
Fakta-fakta sosialismelah yang sekarang memberikan pembenarannya atas teori sosialisme, atas teori marxisme.
Untuk memberikan pelukisan yang lebih jelas tentang sifat ilmiah marxisme, saya ingin mengemukakan cara kerja pencipta marxisme, yaitu Karl Marx, yang tahun ini kebetulan kita peringati ulang tahun yang ke-140 dari lahirnya dan ulang tahun yang ke-75 dari hari wafatnya. Tidak mungkin Marx sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang ilmiah, sekiranya cara kerjanya tidak ilmiah.
Friedrich Engels, sahabat Marx yang paling akrab dan pencipta serta ajaran marxisme, pernah mengatakan begini: "Sebagaimana Darwin menemukan hukum perkembangan alam organik, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia."7)
Pembandingan Marx dan Darwin ini kiranya tidak bisa kita lakukan begitu saja. Dan sesungguhnya, banyak hal-hal yang menarik dalam hubungan kedua orang jeni ini.
Marx dan Darwin hidup sejaman. Pada tahun 1848 Marx bersama-sama Engels menyelesaikan karya mereka yang termashur, Manifes Partai Komunis, dan sepuluh tahun kemudian Darwin menyelesaikan karyanya yang besar The Origin of Species. Kemudian Marx menyelesaikan bukunya Das Kapital. Buku-buku ini sudah dibaca oleh berpuluh-puluh juta orang dan beratus-ratus juta orang lagi masih akan membacanya, tanpa seorang pun yang sanggup dan yang perlu mengadakan perubahan, karena isi dari buku-buku itu adalah kebenaran ilmiah.
Darwin dan Marx bekerja dengan syarat yang berbeda-beda: Darwin berada, Marx melarat. Darwin dan Marx juga bekerja di lapangan yang berbeda-beda: Darwin menyelidiki dunia tumbuh-tumbuhan dan dunia hewan. Marx menyelidiki dunia manusia. Tetapi kedua-duanya sampai pada kesimpulan yang pada pokoknya sama mengenai perkembangan dan hukum perkembangan. Darwin menamakan buku Marx Das Kapital itu mengolah "soal yang dalam dan penting," 8) sedang Marx-yang bukannya tidak mempunyai kritiknya terhadap Darwin-menganggap buku Darwin "sangat penting dan membantu saya sebagai dasar ilmu alam bagi perjuangan kelas di dalam sejarah."9)
Bagaimana Marx dan Darwin sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang bagitu penting dan begitu tinggi mutu kebenarannya?
Mereka sama-sama menempuh cara kerja yang ilmiah, yang seperti dikatakan Marx selalu mempunyai lima tingkatan:
1. penyelidikan,
2. percobaan, atau eksperimen,
3. pencatatan,
4. perenungan, dan
5. penyimpulan, atau penggeneralisasian.
Marx adalah benar-benar seorang sarjana. Seperti juga Darwin, Marx adalah seorang orang bibliotek, seorang orang laboratorium. Tetapi sedangkan Darwin boleh dikatakan hanya seorang orang bibliotek dan hanya seorang orang laboratorium, dari mana dia menyusun teorinya yang besar tentang evolusi, Marx adalah sekaligus seorang orang dari bibliotek dan laboratorium yang lebih luas lagi, dari bibliotek masyarakat, dari laboratorium masyarakat. Marx bukan hanya seorang sarjana, dia seorang pemimpin revolusioner, yang seperti dikatakannya sendiri, tidak puas dengan hanya menafsirkan dunia, tetapi menafsirkan dunia dan merombaknya.10)
Mengenai ilmu dan sarjana, Marx selalu mengatakan:
"Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia." 11)
Kata-kata Marx ini kiranya tidak memerlukan penjelasan apapun. Marx tentu mempunyai kebahagiaannya di dalam pekerjaan ilmiahnya, bahkan, jika ia menemukan kesimpulan-kesimpulan dari hasil penyelidikannya, kegembiraan ini, kebahagiaan ini, bukan karena dia mengudi ilmu, melainkan karena dia mengudi ilmu untuk umat manusia.
Untuk kepentingan pekerjaan ilmiahnya, Marx mempelajari sejumlah cukup banyak bahasa, lebih daripada cukup barangkali, untuk seseorang pada umur dia ketika itu. Dia bisa mengarang dalam bahasa Jerman, bahasa Inggris dan bahasa Perancis dengan sama bagusnya dan sama bersihnya dalam tata bahasa. Tentang bahasa-bahasa yang dia pahami: dia membaca Dante dalam bahasa Italia dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, dia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika dia berusia 50 tahun, dia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan enam bulan kemudian dia sudah pandai menikmati syair-syair Pusykin dan novel-novel Gogol dalam bahasa aslinya.
"Bahasa asing," kata Marx, "adalah senjata dalam perjuangan hidup."12)
Selain bahasa, juga buku-sudah tentu-menjadi senjata Marx dalam pekerjaan dan perjuangan hidupnya. Tidak jarang dia kurang makan roti, tetapi tidak pernah dia kurang makan bacaan. Bukunya di rumah cukup banyak, buku-buku yang dia himpun dengan teliti selama beberapa puluh tahun. Tetapi ke mana saja dia datang, ke Berlin atau London, ke Amsterdam atau Paris, banyak sekali dia menggunakan waktu untuk "menjelajahi" isi bibliotek dari museum-museum di kota-kota tersebut. Ada sarjana-sarjana yang hampir-hampir menjadi budak dari buku. Marx lain sama sekali. Dia pernah mengatakan begini: Buku "adalah budakku, dan dia harus mengabdi aku sekehendakku."13) Inilah sebabnya mengapa Marx tidak menyusun buku-buku di dalam lemari bukunya menurut ukuran besarnya atau ukuran tebalnya, juga tidak menurut serinya, melainkan menurut isinya, sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya.
Barang siapa membaca kumpulan karangan Marx, tahulah dia bahwa Marx bukan hanya besar perhatiannya pada soal-soal masyarakat, tetapi juga besar perhatiannya pada soal-soal ilmu alam pada umumnya, pada matematika, pada biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari waktunya digunakannya untuk penyelidikannya di lapangan ekonomi. Karya utamanya yang menumental itu, Das Kapital, adalah hasil pekerjaan selama empatpuluh tahun.
Ada baiknya kalau saya mencatat di sini sumbangan Indonesia pada kelahiran Das Kapital. Kalau karya utama Darwin Origin of Species mendapatkan di antara bahan-bahannya yang penting laporan mengenai fauna dan flora Maluku, Das Kapital Marx mendapatkan bahan-bahannya pula dari pengisapan VOC di Maluku dan dari susunan desa di Jawa dan Bali.14)
Demikianlah beberapa gambaran dari kehidupan ilmiah dan dari cara kerja ilmiah Karl Marx. Banyak yang sudah dikatakan tentang Marx dan masih banyak yang bisa dikatakan tentang Marx. Satu hal tidak ingin saya melangkauinya: bahwa Marx itu seorang jeni kiranya tak ada yang menyangsikannya; yang perlu dicatat ialah bahwa jenialitasnya itu bukan "bisikan wahyu," melainkan hasil dari pekerjaan yang luar biasa, keuletan, ketekunan, ketelitian dan ketajaman otak.
Untuk mengakhiri penggambaran tentang cara kerja ilmiah Marx, baiklah saya kutip apa yang dikatakan oleh Paul Lafargue tentang dia:
"Tidak hanya dia tidak akan mendasarkan diri pada fakta yang belum sepenuhnya diyakininya, dia tidak akan memperkenankan dirinya berbicara tentang sesuatu sebelum dia mempelajarinya dalam-dalam. Dia tidak pernah menerbitkan satu pun karya dengan tidak berulang-ulang meninjaunya kembali sampai dia menemukan bentunya yang setepat-tepatnya. Dia tidak pernah muncul di depan umum tanpa persiapan secukupnya."15)
Kembali saya sekarang kepada salah paham yang saya sebutkan pada awal paparan ini. Mengapa marxisme itu tidak tepat jika dianggap sebagai ajaran politik saja? Mengapa marxisme itu dikatakan suatu siatem yang menyeluruh, yang lengkap dan harmonis?
Marxisme mempunyai tiga bagiannya yang tidak terpisah-pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran-ajaran tentang: ekonomi politik, falsafat dan sejarah.
Ekonomi politik marxis, seperti umum tahu, bersumber pada ajaran-ajaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang diletakkan oleh Adam Smith dan David Ricardo. Berpegangan pada dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil menyelidiki "hukum gerak ekonomi masyarakat modern,"16) Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi "batu pertama teori ekonomi Marx,"17) yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan, bahwa kapitalisme itu di dalam dirinya sendiri "mengandung dan menyimpan satu hukuman mati,"18) dan bahwa mau tak mau sistem kapitalisme harus menyingkir dari panggung sejarah untuk memberikan tempat pada sistem yang baru, yaitu sosialisme.
Revolusi sosialis, mula-mula di Rusia, kemudian di Eropa Timur, dan yang terakhir di Tiongkok, adalah pembenaran yang sedil-adilnya dari teori marxis. Ketika Das Kapital baru saja terbit, penerbitnya membayar honorarium yang begitu kecilnya kepada Marx sehingga kata Marx sendiri honorarium itu tidak cukup buat membeli rokok yang diisapnya selama dia menyelesaikan Das Kapital. Sekarang Das Kapital sudah "dibayar" secara seadil-adilnya, karena tidak kurang dari sejarah sendiri yang membayar honorarium-berupa sosialisme yang meliputi seribu juta penduduk dunia!
Ada sekarang orang mengatakan bahwa ekonomi politik marxis itu memang sesuai untuk "kapitalisme klasik" tetapi tidak cocok lagi untuk "kapitalisme jaman sekarang." Tentu, kapitalisme itu tidak mandek saja. Sekarang ada "kapitalisme kerakyatan," "kapitalisme terorganisasi," "kapitalisme berencana" dan entah kapitalisme-kapitalisme apa lagi. Tetapi satu hal sebetulnya tidak berubah, yaitu: dia tetap kapitalisme. Kita cukup membaca surat-surat harian, maka kita bacalah hampir saban hari: Amerika terkena resesi, pengangguran meningkat, harga-harga nail, upah riil merosot-tidakkah semua ini membuktikan bahwa marxisme tetap benar? Sejarah bukan meralat, tetapi memperkuat marxisme. Lawan marxisme mencoba menggambarkan bahwa marxisme "dulu ilmiah, sekarang tidak lagi ilmiah." Tetapi jalannya sejarah membuktikan bahwa bukan marxisme yang sudak tidak ilmiah lagi, melainkan bantahan-bantahan mereka. Ada lagi yang mengatakan bahwa marxisme itu "hanya cocok buat Eropa, tidak buat negeri-negeri lain." Baiklah saya singkat saja: apakah Vietnam, Korea, Mongolia dan Tiongkok itu Eropa?
Satu lagi ingin saya singgung dalam saya membicarakan ekonomi politik marxis ini, yaitu apa yang selalu disebut oleh penceramah-penceramah bukan marxis. Mereka itu selalu mengatakan bahwa salah satu bagian yang penting dari "teori marxisme" ialah apa yang mereka sebut "teori Verelendung," "teori pemelaratan." Dengan ini mereka mencoba menggambarkan bahwa kaum marxis itu "gandrung kemelaratan," karena dari "kemelaratan"-lah akan lahir kemenangannya. Bahwa hari depan itu miliknya "kaum melarat" dan bukan miliknya "kaum kaya," "kaum kapitalis," ini tak perlu dipersengketakan. Tetapi kaum marxis "gandrung kemelaratan"? Kita cukup mengingat bahwa yang membela kenaikan-kenaikan upah, yang membela perbaikan nasib pada umumnya, baik bagi kaum buruh, kaum tani maupun kaum pekerja lainnya, adalah tidak lain daripada kaum marxis, dan bahwa lawan-lawan marxisme biasanya menentang perbaikan-perbaikan nasib itu, sehingga yang disebut "teori Verelendung" itu lebih mengenai mereka daripada mengenai kaum marxis.
Mengenai filsafat marxisme, seperti diketahui, bersumber pada filsafat klasik Jerman yang mencapai puncaknya pada dua nama: Hegel dan Feuerbach. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah sistem dialektikanya, yang karena berdiri di atas landasan yang idealis, telah dirombak oleh Marx dan ditegakkan di atas landasan yang sebaliknya, yaitu materialisme. Sedang sumbangan Feuerbach yang terpenting adalah kritiknya terhadap idealisme Hegel. Tetapi Feuerbach sendiri, yang materialis dalam pendekatannya pada gejala-gejala alam, masih seorang idealis dalam konsepsinya mengenai gejala-gejala sosial, gejala-gejala masyarakat. Sesudah hal ini pun dirombak oleh Marx, maka seperti dikatakan oleh Friedrich Engels "idealisme diusir dari tempat pengungsiannya yang terakhir, yaitu filsafat sejarah."18)
Filsafat marxis adalah universal, karena ia berlaku baik bagi pendekatan pada gejala-gejala alam, pada masyarakat, dan pada alam pikiran.
Ada yang menyangsikan apakah filsafat marxisme itu memang meliputi juga filsafat alam.
Dutabesar Indonesia di Moskow, Mr. Alexander Maramis mengatakan kepada saya setengah tahun yang lalu, bahwa ilmu di Uni Soviet itu maju, lebih maju daripada di dunia Barat. Pembuktian untuk hal ini tidak diperlukan, karena ketika kami bercakap-cakap, Sputnik III baru saja diluncurkan. Orang pun tentu berpikir: mengapa ilmu, ilmu alam maupun ilmu sosial di Uni Soviet lebih maju daripada di Barat? Kalau saya diminta menjawab: karena sarjana-sarjana di Uni Soviet berpikir dengan metode materialisme dialektik dan historis, dengan filsafat marxis.
Sekarang mengenai ajaran marxisme tentang sejarah. Seperti diketahui, ia bersumber pada sosialisme khayali seperti yang diwakili dalam tulisan-tulisan Simon, Fourier dan Owen.
Kalau sosialisme khayali mendambakan sosialisme dengan jalan dan cara yang tidak menjamin datangnya sosialisme, misalnya dengan jalan mendirikan "koloni-koloni," dengan mengumpulkan "dana-dana" dari kaum kapitalis, dsb., sosialisme marxis menunjukkan hukum perkembangan kapitalisme dengan menunjukkan bahwa perjuangan kelas lah motor atau lokomotif dari sejarah, dan oleh sebab itu gerakan revolusioner kelas buruh adalah satu-satunya jalan menuju ke sosialisme.
Baiklah saya ambil satu contoh bagaimana orang bisa memandang jauh ke muka, jika filsafat dan konsepsi sejarahnya filsafat konsepsi sejarah marxis. Di tahun 1913, ketika pemuda-pemuda kita tidak sedikit yang berorientasi ke Barat dan belajar ke Barat, Lenin mengatakan: "Eropa yang terbelakang dan Asia yang maju."20) Kata-kata Lenin ini tentu saja, ketika itu, terasa seperti orang yang berenang melawan arus di sungai yang deras. Sudah empatpuluh lima tahun berlalu sejak kata-kata Lenin itu, dan apa kenyataan dunia kita sekarang? Eropa yang maju dan Asia yang terbelakang ataukah Eropa yang terbelakang dan Asia yang maju? Sejarah memang berjalan menurut hukum dialektik: Eropa yang tadinya maju, sudah berbalik menjadi terbelakang, dan Asia yang terbelakang, sudah berbalik menjadi maju. Dulu, imperialisme mengobrak-abrik negeri-negeri Asia, sekarang kebangkitan Asia yang mengobrak-abrik imperialisme! Inilah yang dikatakan oleh Mao Zedong: "Angin Timur mengalahkan angin Barat."21) Dan ini sudah diramalkan oleh Lenin empatpuluh lima tahun yang lalu. Tetapi tidak ada ramalan bisa terwujud, jika ramalan itu bukan ramalan ilmiah.
Demikianlah, dengan singkat dan bersahaja saya telah mencoba memaparkan beberapa pokok teori dan praktek marxisme sebagai ilmu.
Untuk menyimpulkan paparan yang seperti saya katakan di muka tadi tidak punya pamrih untuk merupakan lebih daripada suatu introduksi belaka, saya akan memberikan definisi atau batasannya apa marxisme itu, atau seperti yang sekarang dikenal di mana-mana, sosialisme ilmiah atau marxisme-leninisme.
Marxisme-leninisme adalah: "ilmu tentang hukum perkembangan alam dan masyarakat, tentang revolusi massa tertindas, tentang kemenangan sosialisme, tentang pembangunan masyarakat komunis."22)
Makin hari makin banyak sarjana-sarjana, sarjana-sarjana borjuis sekalipun, yang memahami sifat ilmiah marxisme, walaupun tidak semua mereka menerima dan menyetujuinya.
Meskipun demikian, di Indonesia dewasa ini kita melihat kenyataan, bahwa marxisme sebagai ilmu bukan saja tidak diajarkan di sekolah-sekolah tinggi; kita masih ingat kenyataan, bahwa ada guru-guru besar yang menyebut nama Marx pun segan. Kita menjumpai buku-buku pelajaran filsafat, tanpa menyebut nama Marx sedikit pun, atau kita menjumpai buku-buku ekonomi, yang kalaupun menyebut Marx menyebutnya dalam lima atau sepuluh baris saja. Barangkali yang dirugikan oleh hal ini pertama-tama bukan marxisme, melainkan kemajuan ilmu keseluruhannya. Untuk menembus keadaan ini pulalah kiranya mengapa didirikan "Universitas Rakyat" dan mengapa salah satu mata pelajarannya yang pokok adalah Ekonomi Politik Marxis.
Mereka-mereka yang tidak mengakui marxisme itu suatu ilmu biasanya mencoba memerosotkan marxisme dengan menyebutnya "suatu dogma."
Terhadap sebutan ini saya tak usah mengajukan bantahan marxis, dan bantahannya yang nonmarxis akan saya pinjam dari Jawaharlal Nehru yang mengatakan dalam otobiografinya sebagai berikut: "Seluruh nilai marxisme dalam pendapat saya terletak dalam ketiadaannya akan dogmatisme, dalam tekanannya pada pandangan dan cara pendekatan tertentu, dan dalam sikapnya untuk beraksi."23)
Di dalam bukunya yang lain, The Discovery of India, Nehru menulis: "Suatu studi tentang Marx dan Lenin melahirkan pengaruh yang megah pada pikiran saya dan membantu saya untuk memandang sejarah dan masalah-masalah dewasa ini dalam sorotan baru."24)
Yang lain lagi yang tidak mengakui marxisme sebagai ilmu menuduh marxisme itu tidak obyektif, tidak bertolak dari obyektivitas, dan mulai dengan "dalil-dalil yang à priori" itu.
Perkenankanlah saya sekarang meminjam ucapan Presiden Sukarno, yang pada 5 Juni tahun ini menyatakan: "Marxisme yang sebenar-benarnya, berdiri di atas analisis-analisis yang obyektif."25)
Dengan mengingat kata-kata Bung Aidit bahwa "Berkat ajaran-ajaran Marx, kita generasi sekarang makin dekat pada kebebasan seluruh umat manusia,"26) dan dengan mengingat pesan Friedrich Engels bahwa "Sejak sosialisme menjadi ilmu, dia pun harus diperlakukan sebagai ilmu pula, yaitu dipelajari,"27) baiklah saya mengunci introduksi yang tidak seberapa ini dengan membandingkan nasib ajaran Marx dengan nasib ajaran Giordano Bruno, filsuf Renaisans yang hidup di abad ke-16 itu. Seperti para saudara tentunya maklum, karena Giordano Bruno tampil membela dan mengembangkan teori Kopernikus bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, sedangkan teori resmi gereka pada waktu itu menyatakan sebaliknya, matahari yang mengelilingi bumi, dia dibakar hidup-hidup oleh gereja. Bruno mati, tapi teorinya hidup terus. Semasa hidupnya Marx dicerca, diejek, difitnak, dihina oleh seluruh dunia borjuis. Sekarang, tujuhpuluh lima tahun sejak wafatnya Karl Marx, teorinya bukan saja hidup terus, tetapi yang paling hidup diantara sekalian teori yang hidup.
 

Kepustakaan
1) Archieves de Philosophie, penerbitan istimewa, no. XVIII.
2) Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Bagian Marxisme, termuat di Lenin Tentang Adjaran Karl Marx, Jajasan Pembaruan, 1955, hal. 5.
3) Sama, hal. 6.
4) Baca Manifes Partai Komunis, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
5) Ensiklopedia Indonesia, N.V. Penerbitan W. van Hoeve, Bandung-s'Gravenhage, jil. II, hal. 901.
6) Prof. Dr. Mr. Tjan Tju-som, Kuliah Umum Ilmiah di depan Universitas Rakjat "Djakarta" beracara Tugas Ilmu Pengetahuan, Jakarta, 5 Desember 1958.
7) Friedrich Engels, pidato di depan makam Karl Marx.
8) Surat Darwin kepada Marx.
9) Surat Marx kepada F. Lassalle.
10) Karl Marx, Duabelas Tesis Tentang Feuerbach.
11) Dikutip oleh Paul Lafargue di dalam Reminiscences of Marx.
12) Sama.
13) Sama.
14) Karl Marx, Das Kapital.
15) Paul Lafargue, Reminiscences of Marx.
16) Karl Marx, kata pengantar Das Kapital, jil I.
17) Lenin, Karl Marx.
18) Henry Lafebvre, Marxisme, Pustaka Rakjat, Jakarta, 1956, hal. 12.
19) Friedrich Engels, Anti-Dühring, hal. 32.
20) Lenin, Gerakan Pembebasan Nasional di Timur, hal. 61.
21) Mao Ze-dong, tulisan di Hongi, no. 1, 1958.
22) Politiceskii Slowar, di bawah pimpinan redaksi Prof. B.N. Ponomaryov, tjet. ke-2, Moskow, 1958, hal. 337.
23) Nehru, Autobiography, hal. 592.
24) Nehru, The Discovery of India, 1946, hal. 13.
25) Sukarno, Kursus Tentang Pantjasila di Istana Negara, 5 Djuni 1958, brosur Kementrian Penerangan no. 29, hal 6.
26) D.N. Aidit, Perdjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx, hal. 5.
27) Friedrich Engels, Perang Tani di Jerman.
ooo0ooo

DEKONSTRUKSI TEOLOGI KEAGAMAAN   Oleh Muzakkir Djabir Wacana akan perlunya dekonstruksi atas teologi yang mapan saat ini, d...