DEKONSTRUKSI
TEOLOGI KEAGAMAAN
Oleh Muzakkir
Djabir
Wacana
akan perlunya dekonstruksi atas teologi yang mapan saat ini, dalam arus
dialektika, oleh kaum intelektual maupun cendekiawan, baik dalam literatur
klasik maupun kontemporer demikian marak diperbincangkan. Paling tidak,
beberapa karya semisal pandangan-pandangan Mohammed Arkaoun (intelektual asal
Aljazair) dan Mohammad Abed Al-Jabiri (filosof kelahiran Maroko), telah
menggambarkan peta-peta dekonstruksi tersebut. Intensitas polemik tersebut akan
melahirkan suatu sikap bernada gugatan terhadap kemapanan konsepsi maupun realitas masyarakat yang stagnan.
Begitupun
juga, Muhammad Iqbal (bapak ruhani Pakistan)
menyerukan pandangan agar ummat Islam, yang banyak terjebak dan ikut arus ‘parsial approach’ dalam menganalisis maupun menggagas anatomi
masyarakat muslim, mereka terjebak dengan janji-janji utopis dari teori-teori
sosial Barat yang absurd, dengan harapan diklaim sebagai kaum modernis, agar
bersikap kritis.
Mengikut
pada Iqbal, Ali Syari’ati (ideolog proggresif asal Iran), dalam banyak
karya-karya monumentalnya yang orisinil, menyerukan sikap kemandirian dan sikap
kehati-hatian bagi ummat Islam untuk meniru Barat. Syari’ati menganjurkan
pengenalan karakteristik anatomi masyarakat muslim secara paripurna, agar dapat
kembali membangun kepribadian dan identitas masyarakat muslim, yang dengan
upaya maksimal berupaya dikubur oleh kolonialis Barat, agar masyarakat muslim
menjadi komunitas yang tidak percaya diri terhadap geneunitas peradaban Islam.
Olehnya,
dibutuhkan perspektif yang holistik untuk membangun pranata sosial yang
humanis, proggresif, dan egaliter dalam bingkai transendental. Karenanya, amat
signifikan, suatu pesan yang dapat dipetik dari Iqbal maupun Syari’ati, yakni
hendaknya para intelektual Muslim sebagai arsitek perubahan sosial mampu mengenali dan menyelami problema
subtansial yang dialami oleh masyarakat muslim, sebelum menawarkan atau
menggagas solusi atas marginalisasi ummat Islam.
Realitas
ummat Islam pada konteks global, adalah realitas yang terpinggirkan pada seluruh bidang kehidupan, baik dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, lebih-lebih ilmu pengetahuan. Umat
Islam berada dalam jepitan ketiak “ hegemoni “ barat dengan segala keserakahannya
walaupun dibingkai atas nama kemanusiaan dan modernitas.
Sehingga
menjadi wajarlah kemudian manakala
muncul pertanyaan mendasar bagi masyarakat muslim ,khususnya kelompok yang
setiap harinya “ bersetubuh “ dengan wacana futuristik; sebenarnya, problema apakah yang urgen dan
signifikan diidap oleh masyarakat muslim sehingga takluk atas hegemoni Barat.
Kelemahan dalam menelusuri serta menganalisis problema fundamental umat Islam,
hanya akan menambah panjang daftar teori solutif yang artifisial.
Suatu
fenomena yang memprihatinkan sekaligus menyedihkan melihat realitas masyarakat
muslim dengan kemayoritasannya didunia ini , seakan menjadi anak tiri zaman.
Hal mana ummat Islam berada pada pojok-pojok teritorial yang kusut dan kumuh,
seakan Islam apriori dan tabu dengan
kemajuan dan modernitas. Dan celakanya, seakan dunia dan prosesi zaman yang
melingkupinya taklid sepenuhnya akan ketentuan-ketentuan keberaturan Sang
Khalik. Padahal ummat Islamlah
sendirilah, baik secara sadar maupun tidak sadar membuang dirinya diruang-ruang
tradisi paham skriptualis ( baca :
tektualis-stagnan ) serta anti pembaruan.
Padahal,
panggung sejarah peradaban dunia, telah mencatat dengan tinta emas masa
superioritas peradaban Islam, hal mana dunia Barat pun mengakuinya akan
kontribusi intelektual Islam atas antarannya menuju renaisans. Bukankah Islam
datang ke daratan Eropa dalam rangka membebaskan Barat dari kegelapan ? Islam demikian kaya dengan potensi, kaya akan
orisionalitas dan geneunitas pemikiran serta sejarah yang heroik, dan sangat
untuk patut dibanggakan.
Namun
demikian., idealisasi sejarah yang berlebihan , apatah lagi jatuh pada
romantisisme sejarah, dan kemudian tidak muncul sikap kritis, hanya akan
melahirkan pemikiran yang jumud dan membentuk masyarakat yang mati dan stagnan.
Oleh karenanya, kritik sejarah, jihad intelektual dalam bentuk merespon
pembaruan pemikiran Islam, merupakan keharusan. Sebab, sikap demikian, paling
tidak akan melahirkan dan membangun power serta semangat baru untuk keluar dari
kejumudan dan stagnasi, dalam rangka menata dan menformulasi tatanan sosial
yang ideal, dan akan menjadi ‘kompas’ bagi pengokohan fondasi renaisans Islam.
Judul
tulisan diatas, tentunya akan melahirkan polemik bagi kaum
intelektual-kontekstual versus intelektual tekstualis ( skriptualis- normatif
), tetapi paling tidak lemparan wacana ini akan mengundang para intelektual
Muslim yang peduli masa depan Islam
untuk urung rembuk dalam prosesi dialektika. Sebab, dialektika merupakan
karakteristik fitrawi makhluk, hatta itu dialektika dengan Tuhannya, semesta
dan seluruh entitas-entitas di dalamnya. Hanya dengan maksimalisasi
diskursuslah, antara seluruh elemen-elemen masyarakat, kearifan akan datang
bertandang dan “memeluk diri” kita, yaitu kearifan dalam keberaneka-ragaman
(pluralisme).
Pun
dalam konteks ke-Indonesia-an, dimana penduduknya mayoritas muslim, juga
mengalami nasib yang sama dengan masyarakat muslim dibelahan dunia lainnya.
Rejimentasi pemerintahan orde baru yang telah memberanggus semangat pluralitas,
penguburan karakter kultural dan identitas masyarakat lainnya, dibingkai dengan
azas-azas nasionalisme buta serta uniformitas “kejawen”.
Masyarakat
indonesia menjadi komunitas ‘reptil’ (yang responnya kalau menemukan hal baru
segera lari dan beruzlah, dan kalau terdesak akan menggigit) dan stagnan. Karenanya, benarlah hujjah
Syari’ati; gamang tak tahu harus berbuat apa, dan memulai dari mana agar dapat lepas dari belenggu kaum establish
despotis, yang serakah mengeksploitasi
kaum mustadhaiifin dan diperparah lagi dengan legalitas “ ulama penjilat “
, sehingga muatan norma keagamaan kadang menjadi “ Narkoba “.
Passifnya
pemikiran Islam, yang pada akhirnya melahirkan marginalisasi umat Islam, dalam
ulasan literatur klasik maupun kontemporer, diidentifikasi disebabkan oleh
kelemahan muatan “ TEOLOGI “ yang dianut dan dipahami oleh mayoritas umat Islam
dibelahan dunia ini. Teologi memegang peranan signifikan dalam membangun dan
menata masa depan Islam. Kejayaan peradaban Islam masa lalu ternyata di back-up
dengan teologi yang holistik dan proggresifnya muatan-muatan teologi masyarakat
muslim.
Pun
dalam sejarah, juga secara obyektif mengambarkan hal demikian. Sejak pasca
kepemimpinan Rasulullah SAW, ummat Islam menampilkan sejarah buram dan hitam
yang mencoreng “ sakralitas dan kesucian “ dienul Islam. Dan selanjutnya,
akibat konflik internal sesama umat Islam
yang berdimensi “politis” ( bukan politis an-sich), melahirkan dua kutub besar dalam komunitas
masyarakat Islam, yaitu kutub Syiah dan kutub Sunni, yang kemudian dalam
aksentuasi pada segala bidang memiliki beberapa perbedaan, khususnya pada
masalah furuiyah dan juga pada aspek
teologi.
ASY`ARIYAH VERSUS MU`TAZILAH
Sejarah
pemikiran Islam klasik bahkan kontemporer, senantiasa menampilkan kedua teologi
ini pada posisi berhadap-hadapan, sebab muatan antara kedua teologi ini memang
sangat paradoks. Teologi Asy`ariyah merupakan teologi yang dianut oleh Islam
Mazhab Sunni yang merupakan teologi mayoritas didunia Islam. Teologi ini
cenderung normatif, tekstual bahkan menafikan peran akal. Paham Asy`ariyah
dalam prosesnya kemudian menjadi paham “ Jabariah “, suatu paham “ penegasian
diri” dan jatuh kepada kepasrahan total terhadap takdir yang telah ditentukan
oleh Allah SWT, yang oleh paham ini dikatakan bahwa manusia tidak memiliki
potensi “ kehendak bebas “ untuk menata dan memformulasi masa depannya sendiri.
Paham ini jatuh pada asketisme buta.
Lain
halnya dengan teologi Mu`tazilah (rasional), yang diwarisi oleh mazhab Syiah
minoritas, yang mengedepankan watak proggresif akal untuk aksentuasi kehidupan
manusia bahkan memformulasi “ takdir manusia “. Teologi Mu`tazilah berpandangan
bahwa manusia telah diberikan potensi kehendak bebas ( free will ) untuk
menentukan takdir hidupnya.
Pokok
permasalahan krusial yang sulit
mempertemukan pandangan kedua teologi ini, yaitu berkenaan dengan penjelasan
sekaligus peranan akal. Padahal dalam banyak nash-nash didalam Al Qur`an,
hadits dan rujukan-rujukan normatif keagamaan, menjelaskan urgensinya akal sebagai
alat pentazkih. Misalnya; QS.
Fush-shilat:53 yang artinya “ Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda
kami di alam raya ini (Afag) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas
bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq)”, atau QS. Al-
An`am:75-79, QS. Ali Imran:190, QS.Yunus: 6, QS. An-Nahl:3-17,
QS.An-Nahl:68-69, dan masih banyak ayat lagi yang mengabsahkan urgensinya akal
sebagai sumber hukum, selain Al Qur`an, As-sunnah, Ijma sebagaimana dipahami
oleh Mutakallimin Syiah.
Sehingga
tidak logis jika akal dinafikan, logika dan filsafat diharamkan. Sebab,
eksistensi Ilahiah hanya mampu dipahami serta dibuktikan dengan maksimalisasi
akal. Penafian akal oleh teologi Asy`ariyah, melahirkan stagnasi dan kejumudan
berfikir, apalagi setelah Imam Al Ghazali memproklamirkan penutupan pintu
Ijtihad. Syah wali allah dahlawi dalam sebuah risalah yang berjudul al-inshaf
fi bayan sabab al-ikhtilaf, menyambut gembira tertutupnya pintu ijtihad bebas,
bahkan syah wali mengatakan “ Inilah suatu rahasia yang telah diilhamkan oleh Allah SWT kepada
para ulama untuk menyelamatkan dan melindungi Islam dari perpecahan”. Untunglah
kemudian Allamah Syaikh Mahmud Syaltut, mufti dan rektor Universitas Al Azhar,
menyerukan bahwa pintu Ijtihad telah terbuka, dan menyerukan untuk mengikuti
mazhab apa saja asalkan didukung oleh alasan-alasan orisional.
Perbedaan
pandangan teologi Sunni tentang peranan akal tercermin dalam bidang Aqa`id
(akidah) dan kalam (teologi skolastik), sebagaimana dikemukakan oleh mazhab
Asy`ari yang mencampakkan akal, serta mengklaim bahwa akal tidak mampu
menetapkan hukum-hukum dalam bidang aqa`id. Kewajiban mengenal Allah bukanlah
hukum syari`ah melainkan hukum yang didasarkan pada akal (pandangan mayoritas
ulama), sebab hukum-hukum syari`ah tidak memiliki kekuatan motivasi dan
pengaruh dalam kehidupan manusia kecuali, bila manusia mengenal Tuhannya dan
syari`yah-Nya. Mestinya berbeda sifatnya vis-à-vis hukum-hukum syari`ah, yakni
ia haruslah tergolong jenis akal yang didasarkan pada akal. Asy`ari
menentangnya dan mencampakkan akal untuk menetapkan hukum dalam kapasitas
apapun.
Tindakan
penolakan akal meluas ke bidang etika yang merupakan bagian dari ilmu kalam
(teologi skolastik). Mazhab pemikiran Asy`ari mengingkari bahwa akal mampu
membedakan berbagai tindakan yang baik dan buruk, bahkan sampai yang paling
jelas dan gamblang. Jadi akal tidak bisa membedakan antara kezaliman dan
keadilan, tetapi yang pertama jadi jahat dan kedua baik semata-mata karena al
bayan al syar`iy, meskipun sekiranya al bayan al syar`iy memandang
kezaliman itu baik dan keadilan itu jahat, maka akal tidak berhak mengemukakan
keberatan.
Meskipun
telah dikatakan bahwa mahzab Syi’ah adalah mahzab yang sangat menghargai
kedudukan akal, tetapi tetap saja ada aliran yang mengharamkan akal –meskipun
pengaruhnya saat ini telah ditenggelamkan oleh ulama ushuli -- yaitu segolongan
ulama yang bernama al –Akhbariyin wa al Muhadditsin (ahli-ahli Hadits). Mereka
menentang peranan akal dalam berbagai bidang dan hanya puas dengan al-Bayan
al syar`iy, karena menurutnya, akal bisa saja salah dan sejarah pemikiran
intelektual penuh dengan berbagai kesalahan. Kaum Akhbari ini pula melancarkan
serangan dan kritikan keras atas ijtihad, tetapi muatan-muatan pemikiran kaum
akhbari ini menyimpan ambiguitas, sebab
disatu pihak , kaum akhbari mengutuk akal untuk menjelaskan jalan bagi al
Bayan al-Syar`iy guna menetapkan hukum dan mengajarkan fiqh, tetapi dilain
pihak masih saja tetap mengandalkan akal untuk membuktikan validitas ajaran
agamanya.
Teologi
Asy`ariyah dengan paham Jabariahnya serta sikap pasif totalnya kepada takdir Allah SWT, yang mengabaikan potensi
kebebasan memilih manusia, membawa ekses negatif bagi masyarakat. Sebab akan
melumpuhkan kreatifitas kejiwaan
serta menggiring manusia teralienasi
pada diri dan masyarakatnya. Demikian juga sikap paternalistik masyarakat
muslim , adalah bias dari internalisasi
teologi Asy`ariyah yang pasif
atau stagnan, ditambah dengan kolonialisme Barat di segala bidang, telah
berhasil membunuh identitas masyarakat muslim di seluruh dunia, yang kemudian
melahirkan sikap pesimis dan kurang percaya diri umat Islam terhadap komunitas
lainnya.
Hal itu
semakin memberatkan bagi para ideolog maupun arsitek perubahan sosialr Islam
dalam membangun tata dunia Islam yang beradab dan egaliter. Dibutuhkan upaya
maksimal untuk melakukan re-thinking atau dekonstruksi terhadap muatan-muatan
normatif keagamaan ummat Islam, tanpa takut diklaim macam-macam oleh kelompok
Islam tertentu. Terbukti dalam sejarah bahwa teologi Asy`ariyah yang asketis
telah melahirkan masyarakat paternalistik, pasif dan taqlid buta, sehingga
tidak mampu melahirkan improvisasi dan dinamisasi dalam masyarakatnya.
Karenanya, dibutuhkan suatu “ TEOLOGI ALTERNATIF” yang mengkompilasi watak dan
karakter yang bersifat dinamis, kreatif, proggresif serta kritis.
Hanya dengan muatan teologi seperti itulah akan mampu menyentak kesadaran
nurani manusia yang paling sublim.
Pun
pada konteks ke-Indonesia-an, proyeksi atau inisiasi Indonesia Baru demikian marak
diperbincangkan. Cak Nur, intelektual kaliber internasional dengan skenario
2025-nya ataupun skenario building-nya Lemhanas 2010, hanya akan menjadi isapan
jempol utopis, jika gagasan mereka tidak menyentuh problema fundamental
masyarakat Indonesia atau dunia Islam.
Yakni stagnannya teologi, atau sekali lagi pasifnya teologi